Anglingdarma, Cerita Lama Moda Transportasi Pengganti Becak


Moda transportasi penghubung pemukiman, Anglingdarma. (dokumentasi Lili Yuliadi)
USAI Pemerintah Daerah DKI Jakarta melarang Becak beroperasi pada pembuka tahun 1990, lahir jenis transportasi baru penghubung pemukiman padat, Angkutan Lingkungan Dari Masyarakat (Anglingdarma).
Transportasi serupa mobet (kendaraan bermotor roda tiga) tersebut merupakan hasil kreatifitas masyarakat di tengah kekosongan moda transportasi terutama mampu beroperasi menjelajah jalan-jalan sempit ibu kota.
Tak heran bila Anglindarma sangat diandalkan masyarakat, terutama ibu-ibu, karena praktis, bisa masuk gang-gang kecil, murah, lagi pula sang pengemudi bersedia membantu mengangkat barang sampai ke rumah.“Kami bisa ngutang, pak. Khususnya kalau untuk mengantar anak sekolah, karena dengan para pengemudinya sudah kenal,” kata Haryati, salah pengguna Anglingdarma dikutip Kompas, 26 November 1991.
Demi membedakan dengan Becak, badan Anglingdarma dicat kuning bergaris hijau. Menggunakan kendaraan bermotor. Para pengemudi pun menggunakan seragam serta helm kuning. Mereka, para pemiliki dan pengguna sejumlah 2.000 orang lantas berhimpun pada Paguyuban Anglingdarma, binaan Yayasan Tri Dharma Patria.
Laju motor beroda tiga tersebut sering merwarnai daerah Jakarta Pusat dan Utara. “Mereka (pengemudi Anglingdarma) juga cukup tertib menunggu muatan di jalan, antara lain Jalan H. Ung dan Jalan Kemayoran Gempol, Jakpus. Menurut pengemudimya, mereka menyetor Rp. 7.500 per hari kepada pemilik itu,” tulis Kompas, Jumat 4 Oktober 1999.
Pemerintah sesungguhnya telah bersepakat memilih Toyoko bermesin Toyota G 16 ADP 165 sebagai pengganti Becak, tapi para pengemudi tak menjalankan aturan. Toyoko malah menarik penumpang di jalan-jalan ekonomi.
Jika mau jujur, menurut Nursyahbani Katjasungkana, kehadiran Anglingdarma berpangkal pada ketidakkonsistenan Gubernur DKI Jakarta, Wiyogo Atmodarminto, memulai pengoperasian Toyoko. Padahal ketentuan kendaraan sejenis Bajaj sudah terlarang untuk diproduksi.
“Malah Toyoko ini seringkali ditemukan beroperasi di jalan-jalan ekonomi. Masyarakat seolah dibuat bingung,” ungkap Nursyahbani dikutip Kompas, 7 Desember 1991.
Di tengah kecintaan masyarakat di perkampungan Jakarta terhadap jenis moda transportasi baru, Pemda DKI Jakarta justru melarang pengoperasian Anglingdarma.(*)
Bagikan
Yudi Anugrah Nugroho
Berita Terkait
Pramono Pastikan Layanan dan Tarif Transportasi Umum di Jakarta Sudah Kembali Normal

Gubernur Pramono Pamer Jakarta Tempati Peringkat 17 Kota dengan Transportasi Umum Terbaik di 2025

Pramono Anung Tegaskan Layanan Transportasi Umum di Jakarta Pulih Total, Tarif Transjakarta dan MRT Gratis Hingga 7 September 2025

Pasca-Demo, TransJakarta Berlakukan Tarif Rp 1 Hingga 7 September

Kota Ankara Turkiye Tertarik Belajar soal Transportasi Publik dari Jakarta

Dengerin Nih! MRT Jakarta Bikin Glodok-Kota Tua Kayak Luar Negeri, Enggak Perlu Bikin Paspor

MRT Jakarta Menuju Era Baru, Proyek Lebak Bulus-Serpong Jadi Pertaruhan Besar

DPR RI Ambil Sikap Tegas! Minta Pemerintah Rombak Total Sistem Transportasi yang Gagal

Gibran Minta Seluruh Indonesia Wajib Tiru Kebijakan Kontroversial Jakarta

Pramono Sebut Peningkatan Transportasi dan Ruang Publik Jakarta Memukau Dunia Internasional
