Waspadai Jebakan Gelontoran Utang Luar Negeri di Era Jokowi

Rabu, 10 April 2019 - Wisnu Cipto

MerahPutih.com - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan menawarkan 28 proyek di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) II Belt and Road Initiative (BRI) Beijing April 2019 senilai US$91,1 miliar atau setara Rp1.296 triliun. Meski membuka peluang investasi masuk, tawaran itu juga memiliki sisi negatif membuat utang luar negeri Indonesia kian membengkak.

"Pemerintah sepertinya abai dengan besarnya beban utang yang ada saat ini, membuat keseimbangan primer APBN mengalami defisit," kata Analis Ekonomi Politik Kusfiardi, di Jakarta, Rabu (10/4).

Mengutip data data Bank Indonesia, Kusfiardi merinci utang Indonesia ke China meroket hingga 74% pada 2015. Pada 2014, total utang RI ke China adalah US$7,87 miliar. Angkanya melesat menjadi US$13,6 miliar pada 2015. Pada 2016, utang ke China menjadi US$15,1 miliar di 2016 dan US$16 miliar per Januari 2018.

"Pemerintah menggunakan utang baru untuk membayar utang lama yang jatuh tempo. Apakah pemerintah sengaja mewariskan beban bagi rezim berikutnya dengan masalah jebakan utang infrastruktur?" kritik CO Founder FINE Institute itu.

Kereta cepat
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno (kiri) bersama President of China Railway Corporation (CRC) Lu Dongfu (kedua kiri) dan Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Rakyat Ch

Menurut Kusfiardi, pemerintah seharusnya mencontoh apa yang dilakukan negara tetangga Malaysia. Sebagai perbandingan, papar dia, Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad, meninjau ulang dan membatalkan sejumlah proyek untuk mengurangi beban utang.

Kusgfiardi menjelaskan Malaysia merupakan salah satu negara yang mendapatkan investasi terbesar dari proyek BRI sekitar US$34,2 miliar diperuntukkan membangun infrastruktur BRI di Negeri Jiran. Namun, lanjut dia, Mahathir langsung menegosiasikan ulang proyek Jalur Sutra Maritim China yang disebutnya tidak menguntungkan Malaysia.

"Dalam penilaian Mahathir, perjanjian pinjaman China tidak menguntungkan. Selain tidak mempekerjakan warga lokal, China juga tidak berbagi teknologi dengan Malaysia," tegas dia.

Contoh lain, Filipina juga tengah meninjau ulang semua kontrak pemerintah, termasuk pinjaman dari China. Filipina menuntut konsesi dan kontrak ulang pinjaman US$12 miliar hingga US$24 miliar dengan beberapa proyek dengan menghapus persyaratan yang tidak menguntungkan mereka.

"Kekhawatiran terbesarnya adalah, China dapat merebut aset Filipina jika tidak dapat membayar kembali pinjaman tersebut," tutup ekonom analis politik itu. (*)

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan