Viscral, Dari Bawah Tanah Indonesia Hingga Panggung Eropa
Kamis, 29 Agustus 2019 -
“SEPERTI diberondong senjata mesin!” Itu reaksi penulis ketika pertama kali mendengarkan album dari unit death metal asal Bekasi, Viscral. Ketukan drum rapat berpadu dengan dengung bass dan riff gitar khas, ditambah lead menyayat juga growling dari sang vokalis. Membuat nuansa death metal sangat kental dirasakan pada setiap lagu.
Mereka adalah Pradia Eggi (vokal), Raden Liga (gitar), Yogi Praja (drum), Faisal Noviandy (gitar), dan Jannova (bass). Berkarya sejak 2007, Viscral konsisten mengusung genre musik anti-mainstream di Indonesia. Meski tidak ramai dikenal seperti banyak musisi dengan genre yang lebih populer, mereka sudah memiliki tempat yang cukup ‘istimewa’ di scene musik underground Tanah Air.
Baca juga:
Kurangnya eksposur media lokal untuk talenta berbakat dari ‘bawah tanah’, tidak lalu membuat Viscral kehilangan semangat berkarya. Sebagaimana nama mereka sudah tidak asing bagi penikmat musik cadas, yang jumlahnya tidak sedikit baik di dalam maupun luar negeri.

Konsistensi Viscral dalam berkarya pun perlahan terbayar. Genre anti-mainstream yang mereka mainkan, ternyata lebih diapresiasi di luar negeri dibandingkan di negeri sendiri. Salah satu media internasional pernah memberikan review untuk karya mereka, dan menobatkan Viscral sebagai salah satu band death metal terbaik dari Indonesia.
Walhasil pada Agustus 2019 bersama band se-genre asal Jakarta, Deadsquad. Viscral berangkat untuk tur bertajuk ‘The Devourer European Tour 2019’, dengan jadwal tampil di empat negara Benua Biru.
Masih di bulan kemerdekaan Indonesia, merahputih mengangkat tema ‘enggak nakal, enggak merdeka’. Tetap konsisten ‘nakal’ untuk menolak berkarya di arus utama showbiz Indonesia, dengan mempertahankan idealisme dalam bermusik hingga meraih berbagai pencapaian.

Beberapa waktu lalu, kami berkesempatan melakukan wawancara dengan frontman Viscral, Pradia Eggi. Menanggapi tema ‘enggak nakal, enggak merdeka’, sekaligus menjawab tentang arti merdeka dalam berkarya. Simak perbincangan eksklusif kami bersama vokalis band Viscral di halaman selanjutnya.
Baca juga:
Merasakan Keliaran Deadsquad di Hammersonic Festival
Menurut Viscral, merdeka itu seperti apa, baik dalam berkarya maupun individu?
Merdeka dalam berkarya menurut kami adalah mendapatkan kebebasan yang positif dalam menciptakan, memproduksi serta mempersembahkan karya itu sendiri, tanpa ada sesuatu yang mengekang atas nama kepentingan segelintir orang.
Berkarya memiliki nilai pembuktian yang enggak asal jadi, ada waktu, tenaga dan pikiran yang bersinergi untuk menciptakan sebuah karya.
Merdeka secara individu, orang-orang yang merasakan haknya terpenuhi serta kewajibannya dijalankan dengan baik dan diberi kesempatan untuk berkembang dalam segala hal.
Bagaimana Viscral menanggapi istilah ‘enggak nakal, enggak merdeka’ yang jadi tema kami?
‘Enggak nakal, enggak merdeka’ punya arti yang cukup ‘mengena’ untuk musisi musik keras seperti kami. Butuh usaha yang besar untuk bisa menembus keterbatasan dari banyak sekat.
Mulai dari regulasi, perijinan tampil, minim support untuk musisi underground, sampai terbatasnya tempat untuk perform. Semua sudah menjadi makanan dalam perjalanan Viscral dan teman-teman (se-genre) yang lain.
Butuh mental yang ‘nakal’ dalam arti menerima keadaan, menjalani semua prosesnya atau enggak sama sekali. Kami lebih suka berpikir bagaimana caranya mengambil peluang, memecahkan masalah, mengambil solusi ketimbang menyerah.
Enggak ada artinya merdeka kalau kita lemah, dan nyerah melawan keadaan.
Kenapa Viscral memilih genre yang ‘berbeda’ dibanding genre mainstream yang lebih ‘laku’?
Memilih genre bukan seperti kita memilih makanan, genre itu pembetukan antara rasa suka, selera, dan sanggup memainkannya. Death metal menjadi genre yang sudah kami mainkan selama 12 tahun, karena kami menyukai tantangan yang terkandung di dalam musiknya.
Sulit memang, tapi kesulitan ini membuat kami terus berpikir bagaimana caranya menciptakan karya dengan sungguh-sungguh. Kami tercebur kedalam lingkaran serumit musik death metal juga, bukan untuk menjadikan karya sebagai ajang untuk bersaing.
Kami hanya ingin menjadi musisi yang sukses dalam berkarya dan memiliki catatan bersejarah, minimal sejarah untuk diri kami sendiri. Berkarya dengan musik mainstream, jelas bukan kemampuan kami.
Musik metal sering dipandang sebagai genre musik yang mendorong atau memicu kenakalan remaja, kekerasan, hingga brutalisme. Bagaimana Viscral menanggapinya?
Musik metal memang terdengar kasar, chaos, rumit, penuh emosi, brutal enggak beraturan. Namun bukan berarti musik metal itu cerminan bentuk kekerasan atau buruk melulu. Itu salah orang yang melakukannya bukan salah musiknya.
Kami pelaku musik metal, sangat menjaga hubungan satu sama lain, kami juga pernah berkontribusi untuk solidaritas kemanusian, sampai kita pernah terlibat untuk funding membuat sekolah terbuka di Wamena, sebagai bentuk kepedulian untuk sesama.
Hanya saja kita jarang terekspos. Padahal skena metal lebih solid persaudaraannya, kalau anda enggak ‘nyemplung’ kedalam scene ini, ya anda enggak akan tahu.
Apakah langkah yang diambil Viscral dalam berkarya mendapat dukungan dari orang-orang terdekat?
Mendapatkan dukungan dari orang terdekat tentunya sangat mudah. Jangan memandang dan membedakan setiap orang, hargai semua orang, juga selalu berbuat baik.
Jangan menganggap diri sendiri sebagai ‘artis’, Sehingga kata itu menjadi pembatas untuk setiap orang yang ingin berinteraksi. Kita semua saudara, karena dalam dukungan dari mereka semua juga terdapat doa.
Di Indonesia, mungkin enggak sih mengandalkan bermusik sebagai pekerjaan utama?
Mungkin saja, siapapun yang bermusik pastinya memiliki peluang untuk sukses. Yang membedakan cuma sejauh apa dan sekuat apa seseorang atau band dalam berusaha. Pada dasarnya, usaha enggak akan mengkhianati hasil.
Mungkin enggak personil Viscral rela meninggalkan pekerjaan dan fokus bermusik?
Mungkin saja, tapi sejauh ini kami masih sanggup menjalani keduanya.
Konsisten dengan genre death metal, bisa diceritakan susah dan senangnya?
Bertahan di genre ini bukan hal yang mudah, dibutuhkan kedewasaan berpikir untuk menyatukan ego tiap kepala supaya bisa melahirkan karya yang baik.
Senangnya dengan konsisten di genre ini networking kami bisa terjalin hingga skala internasional. Ada apresiasi yang besar dari publik internasional kepada musik death metal Tanah Air, salah satunya untuk Viscral.
Apakah jalur yang dipilih selama berkarya sudah membuat Viscral merdeka?
Tentu saja, karena kami bebas mengeksplorasi musik yang kami buat, kami tidak memaksakan orang untuk mendengar musik kami. Namun kami senang bermusik dengan gaya yang seperti ini.
Kebebasan dalam berkarya dianggap sebagai suatu yang ‘merdeka’, bisa dikatakan viscral mengambil jalur yang ‘nakal’. Tanggapannya?
Saat ini kami sedang bermain dengan ‘kenakalan’ kami sendiri dengan cara membawa nama Indonesia di daratan Eropa.
Tidak semua band mendapatkan kesempatan ini, menurut kami ini waktu yang tepat untuk menunjukkan ‘kenakalan’ kami.
Apa pencapaian tertinggi yang pernah diraih Viscral? Apa yang belum dan diharapkan Viscral ke depannya untuk scene metal Tanah Air?
Pencapaian tertinggi yang diraih Viscral adalah menjalani 27 titik tur pada album pertama. Mendapatkan berbagai review dari media internasional sebagai salah satu band death metal terbaik di Indonesia.
Kali ini kami akan menjadi wakil Indonesia di empat negara di Eropa, mungkin hal ini menjadi pencapaian baru buat kami.
Harapannya, semoga musik death metal di Tanah Air semakin dihargai, semakin memiliki wadah, dan Indonesian Death Metal semakin diakui dunia! (Adp)
Baca juga:
Setelah Burgerkill, Giliran Beside yang Tampil di Wacken Open Air