Tiga Tahun Pandemi, Penanganan Tuberkulosis di Indonesia Ikut Terdampak

Selasa, 22 Agustus 2023 - Hendaru Tri Hanggoro

PANDEMI COVID-19 selama tiga tahun tak hanya berdampak pada sektor ekonomi, bisnis, dan pendidikan, tapi juga pada sektor layanan kesehatan itu sendiri. Pandemi mengakibatkan penurunan kemampuan layanan kesehatan menangani tuberkulosis.

Demikian diungkap oleh The Lancet Global Health dalam kajian tentang dampak pandemi COVID-19 terhadap pengendalian tuberkulosis di Indonesia.

Penelitian itu memaparkan bahwa selama pandemi COVID-19, angka notifikasi kasus (case notification rate) TB menurun sebesar 26%, dan angka cakupan pengobatan (treatment coverage) menurun sebesar 11%.

Meski demikian, tidak ada peningkatan yang signifikan pada kematian semua penyebab, dibandingkan dengan periode sebelum pandemi.

Penelitian ini juga memaparkan bahwa dampak terhadap program pengendalian TB nasional paling terasa di kabupaten/kota dengan kasus COVID-19 tertinggi dan sumber daya layanan kesehatan terendah.

Dr. Raph Hamers, Kepala Clinical Infectious Disease Programme dan peneliti senior OUCRU Indonesia, menyatakan bahwa dalam konteks Indonesia, ada beberapa faktor kompleks yang mungkin memperburuk layanan penemuan kasus dan pengobatan TB selama pandemi COVID-19. Misalnya tingginya laju infeksi dan kematian terkait COVID-19 pada tenaga kesehatan.

Baca juga:

Kaum Muda Jangan Abaikan Tuberkulosis

tuberkulosis
Dalam konteks Indonesia, ada beberapa faktor kompleks yang mungkin memperburuk layanan penemuan kasus dan pengobatan TB selama pandemi COVID-19 (Foto: Pearl Gan untuk OUCRU Indonesia)

"Selain itu perubahan perilaku masyarakat dalam mengakses layanan kesehatan dan pembatasan sementara dalam mengakses layanan kesehatan, serta terganggunya respons imun tubuh pasien terhadap kedua pathogen tersebut pun ikut menjadi faktor yang kompleks," ujar Hamers dalam siaran pers yang diterima Merahputih.com.

Indonesia memiliki beban Pengendalian Tuberkulosis (TB) tertinggi kedua di kawasan Asia. Selain itu, Indonesia masih memiliki predikat sebagai negara yang memiliki beban COVID-19 tertinggi kedua juga se-Asia. Ini sangat berpengaruh terhadap penanganan tuberkulosis.

Hal ini terutama terasa dalam hal kemampuan diagnostik TB, jumlah dokter, dan puskesmas yang terbatas. Ketiga hal tersebut merupakan komponen utama dalam tata kelola TB dan COVID-19.

Dr. Henry Surendra, Epidemiolog di Oxford University Clinical Research Unit (OUCRU) Indonesia dan Associate Professor di Monash University, Indonesia, memaparkan bahwa salah satu kekuatan dari penelitian ini adalah penggunaan data surveilans nasional untuk TB dan COVID-19, indikator pembangunan manusia, kapasitas sistem kesehatan dan jumlah populasi keseluruhan.

"Dari data tersebut ditemukan bahwa kebutuhan terbesar untuk meningkatkan resiliensi sistem kesehatan ada pada kabupaten/kota yang paling rentan terdampak oleh pandemi,” sebut Henry.

Penelitian ini dianggap membantu memahami kerusakan pada sistem kesehatan di Indonesia yang terjadi akibat dari pandemi COVID-19.

Baca juga:

Sudirman Kalah dari Tuberkulosis, Panglima Besar Tidak Pernah Kalah!

tuberkulosis
Pandemi mengajarkan pentingnya kolaborasi, inovasi, intervensi dan implementasi dalam pengendalian TB. (Foto: Pearl Gan untuk OUCRU Indonesia)

"Terlepas dari dampaknya pada penanganan TB, kami mendapatkan informasi tentang adanya kebutuhan untuk meningkatkan ketersediaan GeneXpert, pusat kesehatan masyarakat, dan dokter secara merata di seluruh negeri,” ungkap Prof. dr. Ari Fahrial Syam, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI).

Sementara itu, Dr. Erlina Burhan, Pakar TB dari FKUI sekaligus Ketua Gugus Tugas COVID-19 Ikatan Dokter Indonesia dan Ketua Koalisi Organisasi Profesi Melawan TB Indonesia mengatakan, pandemi mengajarkan pentingnya kolaborasi, inovasi, intervensi dan implementasi dalam pengendalian TB.

"Banyaknya data TB yang tersedia sekarang dapat digunakan untuk meningkatkan intervensi berbasis bukti untuk tatakelola dan pengendalian TB di Indonesia, bergerak menuju eliminasi TB pada tahun 2030,” kata Erlina.

Penelitian ini juga memberikan rekomendasi bagi para pembuat kebijakan dan praktisi kesehatan yang berupaya mitigasi kedua epidemi itu.

Termasuk juga acuan untuk melakukan investasi struktural lebih lanjut dalam kesiapsiagaan sistem kesehatan yang meliputi akses ke layanan kesehatan berkualitas menuju sistem kesehatan lokal yang resilien. (dgs)

Baca juga:

6 Kebiasan Sehat Ini dapat Bantu Cegah Tuberkulosis

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan