Tekanan Anyar ASEAN Pada Myanmar

Jumat, 28 Oktober 2022 - Alwan Ridha Ramdani

MerahPutih.com - Pertemuan khusus Menteri Luar Neegri ASEAN berlangsung di Jakarta, Kamis (28/10). Dalam pertemuan para menlu ASEAN berbicara secara terbuka mengenai berbagai isu sensitif mengenai Myanmar.

Pertemuan ini berlangsung di tengah kecaman dunia atas serangan udara yang dilancarkan junta militer Myanmar terhadap sebuah pertunjukan musik di Kachin.

Baca Juga:

Menlu ASEAN Kumpul di Jakarta Bahas Myanmar

Serangan udara pada Minggu malam (23/10) di Negara Bagian Kachin, Myanmar utara, menewaskan sedikitnya 50 warga sipil, termasuk penyanyi dan pejabat pasukan minoritas etnik Kachin Independence Army (KIA). KIA telah berjuang untuk mendapatkan otonomi lebih besar bagi warga Kachin selama enam dekade.

Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi menegaskan, pendekatan untuk menyimpan masalah di bawah karpet sudah tidak seharusnya menjadi opsi dalam mekanisme kerja ASEAN.

Pertemuan tersebut menghasilkan rekomendasi untuk KTT ASEAN di Phnom Penh pada November mendatang yang dituanrumahi Kamboja.

Para pemimpin ASEAN akan mengkaji implementasi Konsensus Lima Poin yang telah disepakati pada KTT April tahun lalu untuk merespons krisis politik di Myanmar pascakudeta militer, karena mereka menilai tidak ada kemajuan signifikan dalam pelaksanaan konsensus itu.

Konsensus Lima Poin menyerukan penghentian kekerasan, dialog dengan semua pemangku kepentingan, menunjuk utusan khusus untuk memfasilitasi mediasi dan dialog, mengizinkan ASEAN untuk memberikan bantuan kemanusiaan kepada warga Myanmar, serta mengizinkan utusan khusus ASEAN untuk mengunjungi dan bertemu dengan pemangku kepentingan di Myanmar.

Seperti negara ASEAN lainnya, Indonesia pun telah berulang kali menyuarakan kekhawatiran dan kekecewaan pada mandeknya implementasi konsensus itu.

Presiden RI Joko Widodo mengirim surat kepada Perdana Menteri Kamboja Hun Sen sebagai Ketua ASEAN mengenai pentingnya para pemimpin ASEAN membahas implementasi Konsensus Lima Poin untuk membantu penyelesaian krisis Myanmar.

Surat tersebut, kata Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi, telah dibalas oleh Hun Sen yang menugaskan para menlu negara anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) untuk bertemu dan menyusun rekomendasi terkait implementasi konsensus tersebut.

"Saya sampaikan bahwa pertemuan ini harus menyusun rekomendasi untuk KTT bulan depan di Phnom Penh. Rekomendasi akan diformulasikan tentunya melalui chair dan akan dikonsultasikan dengan negara anggota ASEAN," kata Retno.

Namun, dalam pertemuan ini diklaim tidak pernah ada pembahasan mengenai expulsion of Myanmar. Pembahasan selama ini selalu didasarkan pada premis bahwa ASEAN adalah satu tubuh dengan Myanmar sebagai bagian dari ASEAN.

Hal itu ditunjukkan ASEAN dengan selalu menyediakan meja berbendera Myanmar dalam setiap pertemuan, meskipun negara tersebut tidak pernah mengirimkan perwakilan nonpolitiknya.

Direktur Jenderal Kerja Sama ASEAN Kementerian Luar Negeri RI Sidharto R Suryodipuro menegaskan, kesepakatan ASEAN untuk mengikutsertakan perwakilan nonpolitik dari Myanmar merupakan respons atas krisis politik yang dipicu kudeta militer sejak Februari.

"Kalau mereka tidak mengirim perwakilan nonpolitik, maka meja Myanmar akan kosong," kata Arto.

Meskipun Myanmar tidak pernah mengirim perwakilannya dalam pertemuan-pertemuan ASEAN, ujar dia, perhimpunan itu tetap menganggap penting penyelesaian krisis politik yang diwarnai peningkatan kekerasan hingga menyebabkan jatuhnya korban di Myanmar.

Menurutnya, krisis politik yang berkepanjangan di Myanmar akan menghambat proses pembangunan Komunitas ASEAN yang didasarkan pada pilar politik dan keamanan, ekonomi, serta sosial budaya, katanya.

"Kalau Myanmar memilih untuk tidak dibantu ASEAN, maka tidak banyak yang bisa dilakukan oleh ASEAN. Namun, ASEAN harus maju terus dalam proses community building, dan Myanmar sebagai bagian dari komunitas tersebut harus mempertimbangkan bagaimana dia akan berkontribusi," katanya dikutip Antara. (*)

Baca Juga:

Pemimpin Dunia Bakal Hadiri Pemakaman Elizabeth II, Kecuali dari Rusia, Belarusia dan Myanmar

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan