Tanpa Dasar Hukum Kuat, Larangan Mudik Berpotensi Timbulkan Pelanggaran Hak

Rabu, 22 April 2020 - Eddy Flo

MerahPutih.Com - Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sudaryatmo menyarankan supaya aturan larangan mudik memuat alasan hukum yang kuat mengenai keputusan larangan mudik.

Sebab, pada dasarnya, mobilisasi merupakan hak asasi manusia yang telah dipertegas dalam undang-undang.

Baca Juga:

Ombudsman Sebut Penegak Hukum Belum Responsif Layani Pelaporan Secara Daring

"YLKI minta pada Kemenhub dalam membikin aturannya itu harus memastikan bahwa justifikasinya secara hukum itu bisa diuji, sehingga nanti larangan (mudik) itu punya dasar hukum," kata Sudaryatmo kepada wartawan, Rabu (22/4).

Ketua Pengurus Harian YLKI Sudaryatmo
Ketua Harian Pengurus YLKI Sudaryatmo (Foto: GenPi.co)

Hak manusia untuk bermobilisasi sendiri diatur dalam Pasal 27 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia (HAM).

Pasal itu menyebutkan, "setiap warga negara Indonesia berhak untuk secara bebas bergerak, berpindah, dan bertempat tinggal dalam wilayah negara Republik Indonesia".

"Jadi sebenarnya mobilitas oleh undang-undang itu dijamin," ujar Sudaryatmo.

Sudaryatmo memahami bahwa larang mudik Lebaran 2020 muncul merespons pandemi Covid-19.

Oleh karenanya, ia menilai, aturan yang menjamin hak masyarakat untuk bermobilisasi ini sifatnya tidak absolut, melainkan relatif.

Menurut dia, oembatasan mobilisasi dapat dibenarkan jika kaitannya adalah untuk kesehatan masyarakat umum.

Ia juga meminta pemerintah menjamin pengembalian dana dari perusahaan penyedia jasa angkutan mudik ke masyarakat yang batal mudik tahun ini.

Sudaryatmo menganjurkan agar jaminan pengembalian dana sebesar 100 persen bisa dimuat dalam aturan pembatasan transportasi yang tengah dirumuskan oleh Kementerian Perhubungan.

Aturan ini dibuat merespons larangan mudik yang akan diberlakukan pemerintah per 24 April 2020.

"YLKI meminta kepada pemerintah, di dalam membuat peraturan larangan mudik ini bisa diakomodasi dalam bentuk mekanisme pembatalan, bahwa tidak boleh memotong (dana pembelian tiket)," kata Sudaryatmo.

Menurut Sudaryatmo, aturan tersebut harus dimuat dalam regulasi pemerintah agar dipatuhi oleh seluruh penyedia jasa angkutan mudik.

Pasalnya, hingga saat ini, baru PT KAI yang sudah menyatakan akan mengembalikan dana 100 persen bagi masyarakat yang membatalkan tiket mudik.

"Itu bukan diserahkan ke korporasi, tapi diadopsi ke dalam peraturan sehingga mengikat pada semua perusahaan angkutan dalam konteks angkutan mudik," ujar Sudaryatmo.

Baca Juga:

Anggaran JPS Rp49 Miliar Hanya Sampai Mei, Pemkot Solo Tak Mampu Berlakukan PSBB

Ia menuturkan, masyarakat yang membatalkan tiket angkutan mudik berhak untuk mendapat pengembalian dana 100 persen.

Sebab, pembatalan mudik tersebut bukan atas kemauan pribadi, melainkan situasi pandemi dan adanya larangan dari pemerintah.

"Konsumen tetap berhak mendapatkan 100 persen dari tiket yang telah dibayarkan kepada konsumen," pungkas Sudaryatmo.(Knu)

Baca Juga:

ICW Minta Kemsesneg Buka Informasi Soal Pengangkatan Stafsus Presiden

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan