Seba Baduy, Ritual Silaturahmi Suku Baduy dengan Pemerintah Banten

Selasa, 09 Mei 2017 - Selvi Purwanti

Seba Baduy menjadi ritual tahunan sejak zaman nenek moyang warga Baduy. Meski belum terdapat catatan resmi mengenai ritual seba Baduy ini, namun prosesi tersebut diyakini telah berlangsung sekitar tahun 1526 Masehi. Saat itu, Kerajaan Demak memperluas wilayah kekuasaannya ke Banten dan mendirikan Kesultanan Banten.

Ritual ini digunakan suku Baduy untuk bersilaturahmi dengan Gubernur Banten, yang mereka panggil Bapak Gede, dan perangkat Pemerintah Provinsi Banten.

Pada saat ritual seba Baduy berlangsung, seluruh masyarakat Baduy Luar dan Baduy Dalam menyerahkan hasil tani atau bumi mereka kepada pemerintah setempat—biasa disebut dengan "upeti untuk kerajaan". Itu semua mereka kerjakan sebagai bentuk rasa syukur karena mendapatkan hasil panen yang melimpah-ruah. Kegiatan seba ini dilakukan tanpa ada paksaan dari mana pun.

Sesepuh Baduy serahkan hasil panen
Sesepuh suku Baduy, Ayah Saidi (kanan), menyerahkan sebagian hasil panen saat upacara Seba kepada Plt Gubernur Banten, Nata Irawan (kiri), di Serang, Sabtu (29/4). Dalam kesempatan itu, warga Baduy meminta tambahan lahan garapan, terkait bertambahnya warga Baduy Luar, serta meminta perlindungan keamanan tanah ulayat suku Baduy dari para perambah yang kerap menyerobot lahan. (Foto: ANTARA/Asep Fathulrahman)

Ritual Seba Baduy ini digelar setelah Urang Kanekes (orang Baduy) melaksanakan Puasa Kawalu selama tiga bulan dan musim panen tiba. Selama tiga bulan itulah masyarakat luar dilarang memasuki wilayah Baduy Dalam, yakni Cibeo, Cikeusik, dan Cikartawana.

Dari tahun ke tahun, pelaksanaan ritual Seba Baduy seringkali meninggalkan cerita dan kesan yang berbeda-beda, meskipun permohonan yang disampaikan masyarakat suku Baduy selalu sama. Mereka terus berpesan kepada Pemerintah di Provinsi Banten agar tetap menjaga kelestarian alam yang mereka tinggali.

Masyarakat Baduy khawatir jika lingkungan alam di sekitar tempat tinggal mereka menjadi semakin rusak oleh ulah manusia. Karena, hal itu dapat mengancam kehidupan mereka yang mayoritasnya mengandalkan hasil bumi.

Urang Kanekes hingga saat ini tetap kukuh mempertahankan adat dan menjaga alam sekitar lingkungan mereka. Hal itu setidaknya tercermin melalui pepatah mereka: "Lojor teu meunang dipotong, pendek teu meunang disambung" (Panjang tidak boleh dipotong, pendek tidak boleh disambung). Pepatah lawas Suku Baduy tersebut memiliki makna bahwa hidup harus sesuai ketetapan Tuhan. Serta, menjaga apa yang telah diberikan oleh Tuhan.

Baca juga: Usai Panen Raya, Lembu Jantan Aceh Pun Diadu.

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan