Rusuh Rasial 10 Mei 1963 Terbesar di Bandung

Selasa, 10 Mei 2022 - P Suryo R

MEREBAKNYA isu SARA sangat membahayakan kesatuan dan persatuan di negeri ini. Isu SARA ini tiada lain merupakan refleksi dari masih kentalnya sentimen rasial (antar ras atau etnis) dalam masyarakat kita, yang juga bisa berkembang menjadi sentimen agama pada ujungnya. Bila menilik sejarah, salah satu tragedi bernuansa rasialis itu terjadi di Bandung, 49 tahun lalu. Tragedi itu dikenal sebagai peristiwa 10 Mei 1963.

Peristiwa kerusuhan yang menjadikan warga etnis Tionghoa Bandung sebagai sasaran berawal dari konflik antara ‘geng’ yang beranggotakan mahasiswa etnis Tionghoa dan geng mahasiswa non Tionghoa di kampus Institut Teknologi Bandung (ITB). Konflik ini dipicu oleh persaingan memperebutkan bangku kuliah ketika tiba saat pergantian jam mata kuliah.

Timbulnya tradisi booking kursi diantara geng-geng mahasiswa ITB. Pada umumnya, yang ‘memenangkan’ kompetisi booking kursi ini adalah kelompok mahasiswa etnis Tionghoa yang mobilitasnya cepat karena memiliki sepeda motor, fasilitas yang tergolong mewah bagi mahasiswa zaman itu.

Baca Juga:

Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Raja Rakyat

bandung
Yang tadinya hanya gesekan antar mahasiswa berubah menjadi kerusuhan rasialis. (Foto: nusantaranews)

Inilah yang menimbulkan rasa ‘cemburu’ diantara kelompok mahasiswa non-Tionghoa sehingga munculah sentimen rasial tersebut. Sentimen yang ternyata membawa dampak tidak kecil bagi kehidupan masyarakat Bandung.

Perkelahian-perkelahian yang kemudian mendatangkan solidaritas diantara mahasiswa non Tionghoa, atau dalam pengertian lain, solidaritas diantara sesama mahasiswa yang memiliki sentimen ‘anti Tionghoa’ dan tidak sebatas di kampus ITB saja. Serangkaian konsolidasi untuk memberikan ‘pelajaran’ kepada mahasiswa-mahasiswa etnis Tionghoa di ITB secara massal. Bentuknya berupa intimidasi dan kekerasan. ‘Pelajaran’ itu rencananya akan diberikan pada 5 Mei 1963, namun karena ada kebocoran informasi, pelaksanaannya diundur menjadi 10 Mei 1963.

Kekerasan ‘ala’ mahasiswa ITB itu kemudian menjelma menjadi kerusuhan massal yang mengambil sasaran warga Tionghoa di kota Bandung. Kawasan Dago, Braga, Asia-Afrika, hingga Otista (Jl Otto Iskandardinata) yang memang banyak dihuni warga Tionghoa menjadi sasaran amuk massa. Toko, rumah, dan aset milik etnis Tionghoa dirusak. Huru hara ini merembet ke kota-kota lain di Jawa Barat seperti Sumedang, Tasikmalaya, Cirebon dan Sukabumi.

Huru hara 10 Mei 1963 menjadi kerusuhan rasialis pertama dan terbesar di kota Bandung. Sentimen anti Tionghoa yang ‘menjangkiti’ sebagian kalangan mahasiswa dan warga Bandung ketika itu dipandang sebagian pihak sebagai manifestasi kejengkelan ‘warga pribumi’ terhadap situasi ekonomi yang ‘morat-marit’ dimasa Demokrasi Terpimpin. Dan kejengkelan itu termanifestasi dalam kekerasan terhadap etnis Tionghoa yang memang kebanyakan ‘bernasib lebih baik’ secara ekonomi karena dominan di sektor perdagangan di Bandung. Jadi problem ketimpangan dalam struktur ekonomi berbuah antipati terhadap etnis tertentu.

Bung Karno sendiri mengutuk keras peristiwa rasialis di Bandung ini dan menuduh gerakan anti Tionghoa tersebut sebagai gerakan kontra revolusi (kontrev) yang merongrong jalannya revolusi nasional. Tak hanya mengutuk, Bung Karno pun menginstruksikan Jaksa Agung agar menuntut para penggerak huru hara tersebut dengan hukuman tinggi dalam proses peradilan. Alhasil, tokoh-tokoh utama peristiwa itu seperti pun dibui dengan masa hukuman bervariasi. Hal ini menunjukkan ketegasan Bung Karno dalam ‘mengganyang’ setiap perilaku rasialis yang membahayakan persatuan dan kesatuan nasional ketika itu.(DGS)

Baca Juga:

Kelahiran VOC Bentuk Persaingan Dagang Negara-negara di Eropa

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan