Runtuhnya 32 Tahun Kekuasaan Orba
Selasa, 21 Mei 2019 -
PEMERINTAH Orde Baru di bawah Presiden Suharto menuduh Partai Rakyat Demokratik (PRD) dalang kerusuhan 27 Juli 1996 (Kudatuli). Pada hari itu, kantor Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jalan Diponegoro 58 Jakarta Pusat yang dikuasai pendukung Megawati Sukarnoputri diserang oleh massa pendukung Soerjadi. Aparat kemudian memburu para aktivis PRD. Setelah ditangkap pada 12 Agustus 1996 dan dijatuhi vonis penjara yang rata-rata belasan tahun, sejumlah aktivis PRD mendekam di penjara yang berbeda.
Garda Sembiring, satu satunya narapidana politik (napol) PRD yang berada di Rutan Salemba. Namun menjelang lengsernya Soeharto dia dipindahkan ke LP Tangerang karena dituduh menjadi penggerak kerusuhan di Rutan Salemba. Sementara aktivis PRD lainnya seperti Budiman Soedjatmiko dan Petrus Haryanto mendekam di LP Cipinang. Keduanya merupakan Ketua Umum dan Sekjen PRD.
Awal Mei 1997, Garda Sembiring yang saat itu Ketua Solidaritas Mahasiswa untuk Demokrasi (SMID) cabang Jabodetabek baru saja jadi pesakitan. “Hukum” negara mengharuskan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) itu membeku di balik kerangkeng besi buat dua belas tahun lamanya. SMID sendiri merupakan organisasi sayap PRD.
Setahun kemudian tepatnya Pada 12 Mei 1998 ada beberapa peristiwa penting. Selain tewasnya empat mahasiswa Universitas Trisakti ketika melakukan demonstrasi, juga terjadi penculikan aktivis. Pada 13 dan 14 Mei 1998, pascapenembakan mahasiswa Trisakti, di Jakarta terjadi kerusuhan. Selain pembakaran gedung-gedung dan penjarahan, juga terjadi pemerkosaan terhadap perempuan etnis tertentu.
“Ketika itu peristiwa 13-14 Mei. Jadi setelah Trisakti keesokan harinya terjadi kekerasan, tanggal 14 itu terjadi aksi pembakaran oleh pihak-pihak tertentu, terjadi pemerkosaan masal atas sejumlah perempuan etnis tertentu. Sejak itu lah saya dipindahkan ke LP Tangerang dewasa karena dituduh menggerakan kerusuhan di dalam rutan Salemba,” kata Garda kepada MerahPutih.com, pekan lalu.
Suharto Lengser, Orba runtuh

Peristiwa tersebut tidak membuat gerakan mahasiswa berhenti, justru semakin menggila. Di Jakarta, mahasiswa dari berbagai kampus yang tergabung dalam Forum Kota (FORKOT) dan Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Jakarta (FKSMJ) menduduki Gedung DPR/MPR. Para mahasiswa memasuki gedung wakil rakyat itu pada tanggal 19 Mei sampai 21 Mei 1998, sampai Presiden Soeharto menyatakan mengundurkan diri.
Garda menyaksikan pemimpin diktator yang berkuasa selama 32 tahun itu lengser dari singgasana kekuasaan di balik jeruji besi penjara. ”Saya melihat detik reformasi, detik lengsernya Suharto itu dari TV, dari balik jeruji di sel dewasa Tangerang. Ketika saya diisolasi, dipindahkan dari Rutan Salemba karena mengakibatkan adanya pemberontakan di dalam rutan,” kenang Garda.
Sementara di LP Cipinang, 21 Mei 1998, mengutip buku Anak-anak Revolusi sekitar pukul 08.30 WIB' Budiman Sudjatmiko dan aktivis PRD lainnya mengelilingi radio. Telinga mereka saat itu diarahkan pada radio yang menyiarkan bahwa tak lama lagi akan ada siaran langsung dari Istana Merdeka. Berita tersebut mengundang rasa ingin tahu mereka. Dengan kejadian-kejadian terakhir, kepala mereka dipenuhi tanda tanya besar.
“Yang kami harapkan saat itu, pidato pengunduran diri sang diktator. Namun bisa saja terjadi sebaliknya, Suharto menyatakan darurat militer nasional,” kata Budiman.
Tak lama kemudian Suharto berbicara dengan sangat lambat. Sang diktator pun menyatakan pengunduran dirinya. Hal itu membuat mereka bersorak-sorak keras. Suasana ruangan penjara menjadi gegap gempita. Setiap orang bersukacita, bersalaman, dan berangkulan. Tak sampai setengah jam kemudian, beberapa tapol mendatangi pintu sel kami yang terbuka. Kemudian, sipir penjara dan Kepala LP datang memberikan ucapan selamat kepada para aktivis PRD.
Pada awal 1998,dari ribuan narapidana di LP Cipinang, dua puluh tujuh orang di antaranya adalah tahanan politik (tapol). Sebelas dari dua puluh tujuh orang itu adalah tapol dari PRD. Yang lainnya adalah Tapol G30S (Bungkus, Asep Suryaman, Marsudi dan Kol. Latief) yang sudah mendekam di sana sekitar tiga puluh tahun, kasus Lampung (Nur Hidayat, Darsono dan Fauzi), gerilyawan kemerdekaan Tmor Timur (Alexandre Xanana Gusmao, Fernando Araujo dan Joao Freitas da Camara), Organisasi Papua Merdeka (Jacob Rambiak), aktivis Pijar (Nuku Sulaiman), aktivis Aliansi Jurnalis Indonesia (Andi Syahputra), Ketua Umum Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (Muchtar Pakpahan) dan kasus penghinaan presiden (Sri Bintang Pamungkas).
“Siang itu kami mengumpulkan semua napol, dan narapidana umum ada di blok kami berpesta. Beberapa ekor bebek peliharaan Kolonel Latief disembelih dan dimasak. Kami lalu bagi-bagikan daging-daging bebeknya pada para tahanan lainnya. Suasananya seperti Hari Raya Idul Adha. Pesta itu berlanjut hingga sore harinya,” kata Budiman dinukil dari buku Anak-anak Revolusi.
Turun amnesti dari Gus Dur

Beberapa hari setelah Abdurahman Wahid (Gus Dur) dan Megawati terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden, pengacara aktivis PRD datang membawa kabar gembira. Pengacara mengabarkan bahwa Gus Dur akan membebaskan seluruh tahanan politik. Pada tanggal 10 Desember, Yusril Ihza Mahendra, Menteri Hukum dan Perundang-Undangan datang ke penjara Cipinang.
Malam itu, di ruangan Kepala LP Cipinang, Yusril mengucapkan selamat kepada Budiman dan kawan-kawan sambil menyerahkan sepucuk surat yang ditandatangani langsung oleh Gus Dur. Di bagian atasnya tertulis kata-kata yang telah dinantikan para tapol PRD sejak lama: "Amnesti".
Atas amnesti Presiden Gus Dur pada 10 Desember 1999, Garda, Budiman dan seluruh napol politik Orde Baru akhirnya menghirup udara bebas. Hari itu bertepatan dengan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) internasional. "10 Desember 1999 kami mendapat amnesti, sehingga segala akibat hukumnya dianggap nggak ada," kata Garda.
Namun Garda menyayangkan amnesti tersebut tidak diikuti dengan klarifikasi bahwa pernah ada penculikan, penyiksaan dan penghilangan paksa terhadap para aktivis yang melawan rezim Orde Baru. "Sayang sekali bahwa amnesti ini tidak diikuti dengan klarifikasi bahwa kami pernah diculik ataupun disekap tidak berdasar hukum. Kami mengalami penyiksaan dan kami adalah sejumlah orang muda ketika itu yang mengalami wujud ketidakadilan selama orde baru yang juga harusnya diungkap," ujarnya.
Andaikan reformasi tidak bergulir, andaikan Suharto tetap menangkangi kursi “orang nomor satu di Indonesia”, andaikan Abdurahman Wahid (Gus Dur) tidak terpilih menjadi Presiden setelah reformasi tuntas meruntuhkan Orde Baru. Barangkali Garda Sembiring, masih mendekam di sel isolasi, Lembaga Permasyarakatan (LP) Tangerang. Dan Budiman Sudjatmiko masih harus menghabiskan waktunya selama tiga belas tahun di LP Cipinang.
Beberapa saat menjelang jatuhnya rezim orba, sejumlah aktivis PRD dan beberapa organ pergerakan lain diculik. Menurut Munir, dari Kontras, ada dua puluh tiga orang aktivis telah dihilangkan oleh alat-alat negara. Tak lama setetah Soeharto berhenti, sembilan orang aktivis dilepaskan oleh para penculiknya. Sejumlah pemimpin PRD, seperti Nezar Patria, Andi Arief, Faisol Reza, Aan Rusdiyanto dan Raharjo Waluyo Jati, termasuk di antara Sembilan orang itu. Sementara sebagian lainnya, beberapa di antaranya juga pemimpin PRD, tak ada kabarnya hingga sekarang.
"Peristiwa penculikan seyogyanya diselidiki secara patut oleh negara, karena peristiwanya itu jelas terjadi dan rezimnya juga sudah lampau. Sebagai bagian dari pembelajaran bagi masyarakat agar generasi sekarang, orang orang muda sekarang, pelajar mengetahui bahwa di masa lalu negara kita pernah mengalami masa-masa kelam, masa-masa kediktatoran," tegas Garda.
Garda pun mengingatkan negara mempunyai hutang masa lalu yang harus dilunaskan. Selain penghilangan orang secara paksa pada 1997-1998, sederet kasus pelanggaran HAM masa lalu, antara lain peristiwa 1965; peristiwa Talangsari 1989; kerusuhan Mei 1998; peristiwa Trisakti; Semanggi I dan II hingga kini masih gelap.
"Dan pendapat saya selama peristiwa pelanggaran HAM masa orba ini tidak dijernihkan, tidak diungkap melalui sebuah komisi, bangsa kita akan terus menerus disandera oleh masa lalunya dan sewaktu-waktu isu-isu tentang komunisme, tentang negara ini digoyang oleh kekuatan-kekuatan yang distigmatisasi, ini akan terus berulang. Jadi masyarakat kita mudah sekali dibenturkan satu sama lain," pungkas Garda. (Pon)