Pesan Hidup Mendalam pada Semangkuk Sup Manten Khas Negeri Aing

Senin, 01 Februari 2021 - Dwi Astarini

DI daerah Solo, penyajian makanan saat resepsi pernikahan masih ada yang menggunkan sistem piringan. Artinya, para tamu duduk lalu hidangan diantar satu per satu. Berbeda banget dari sistem prasmanan yang kerap dijumpai di pesta pernikahan masa kini.

Dalam sistem piringan, makanan pertama yang disajikan ialah jajanan dan teh manis, lalu sirup, sup hangat, makanan berat, dan terakhir es krim.

BACA JUGA:

Kuliner Jahe Andalan Warga Negeri Aing untuk Jaga Kesehatan

Sajian sup dalam tata cara piringan amatlah khas. Namanya Sup manten. Sup manten biasanya berisikan ayam, wortel, kapri, kembang kol, kentang, jamur putih, dan jamur kuping.

Saat diberi kuah, sup akan semakin lezat karena rasa kaldu ayam yang gurih ditambah aroma bawang putih sangat kaya. Kuahnya bening, dengan sayuran direbus terpisah. Isi sup akan ditata dalam piring dan disiram kuah panas ketika akan disajikan. Hangat menggugah selera makan.

sop manten
Sup manten sederhana disajikan saat upacara pernikahan. (foto:Instagram @evi_tri_mulyani)

Sup khusus dijumpai saat perhelatan perkawinan adat Jawa khususnya di Kota Solo memang sederhana. Namun, pada semangkuk sajian sederhana itu ada petuah pernikahan mendalam.

Campuran berbagai jenis sayur dalam sup manten jadi simbol sikap menghargai perbedaan dan menjadi satu. Begitu juga halnya dalam pernikahan. Di antara calon mempelai tentunya memiliki latar belakang yang berbeda, seperti halnya jenis-jenis sayuran yang digunakan memiliki perbedaan. Namun, perbedaan itu dapat disatukan dalam sebuah sajian nikmat. Begitu pula dengan pernikahan.

Selain itu, sajian sederhana ini perlambang sikap sederhana. Kesederhanaan itu terlihat dari bahan dan bumbu yang digunakan. Hal itu mengajarkan kepada para mempelai agar tidak sombong, karena hidup terkadang berada di atas, kali lain di bawah. Dengan begitu, hidup harus dijalani dengan sederhana.

Penyajian sederhana dalam mangkuk juga memberi makna. Dalam pribahasa Jawa, ‘pagar mangkok luweh kuat tinimbang pagar tembok’, dipetuahkan untuk selalu dermawan kepada sesama terutama kepada tetangga sekitar. Dengan sikap baik tersebut, nantinya akan berbuah baik juga untuk kehidupan berumah tangga kelak.(dwi)

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan