Perda Daging Anjing dan Gurihnya Rica-Rica RW Manado
Sabtu, 03 Oktober 2015 -
MerahPutih Megapolitan - Bagi warga Jakarta khususnya yang berasal dari Indonesia Timur, seperti Flores, Manado, Ambon dan Papua, mengkonsumsi daging anjing merupakan hal lumrah bahkan sebagian sudah jadi budaya.
Meski Pemerintah DKI Jakarta baru mengatur peredaran daging anjing konsumsi tersebut. Toh, masyarakat penikmat masakan ini tidak pernah mempermasalahkan ada atau tidaknya peraturan. Bagi mereka yang penting, tradisi makan enak bisa dinikmati di ibu kota untuk merasakan kangen aroma kampung.
"Kalau di tempat saya di Manado, bukan cuma anjing, babi, kucing, tikus, kelelawar, itu biasa kita makan, cuma memang sesuai fungsinya, jadi kalau ada keluarga yang asma, nah kita ke pasar belikan dia seekor kucing, lalu kita masak, nggak lama sembuh tuh asmanya," ujar Jojo salah seorang pelanggan kepada merahputih.com di rumah makan khas masakan Manado di Jakarta.
Pria bertubuh tambun ini sudah lima tahun belakangan menjadi pelanggan di rumah makan ini, makanan khas kesukaannya adalah daging anjing olahan yang biasa disebut sebagai RW, bentuknya mirip dengan rendang, yang diolah dengan masakan dan bumbu-bumbu khas ala Manado.
"Daging anjing itu enak mas, apalagi kalau makannya sambil minum (minuman beralkohol-red) Kalau RW itu kan agak panas ya, jadi saya makan juga enggak setiap hari, seminggu bisa 2-3 kali saja, apalagi tubuh saya kan over berat badannya, beda kalau orang normal, bisa setiap hari makan RW," tukasnya.
Adapun, di Jl Kramat V, Jakarta Pusat, ada sebuah rumah makan Manado bernama Tinoor Permai yang dimiliki oleh Yan Fritz Gala dan istrinya Jenny Porung. Mereka sudah membuka usaha rumah makan khas Manado sejak 13 tahun silam.
"Setiap hari kami belanja dan masak daging anjing sekitar 15-20 kilo, cuma kami belinya di penampungan khusus, jadi enggak beli anjing sembarangan," ujar Yan Fritz yang saat itu duduk sambil menghitung uang dari hasil omzet penjualan hariannya.
Tradisi mengkonsumsi daging anjing tidak hanya dilakukan masyarakat Indonesia Timur. Anda tentu kenal dengan warung Lapo yang banyak dijumpai di berbagai sudut Jakarta. Warung makan khas suku Batak ini menyajikan berbagai menu olahan dari daging anjing (B1) maupun babi (B2). Pada umumnya, Lapo menyediakan makanan seperti Sangsang daging B1 atau B2 yang biasa dibumbui Andaliman (tanaman liar yang banyak tumbuh di Sumatra Utara), Tanggo-tanggo B1 atau B2, Lomok-lomok (anak babi), dan Naniura (ikan mas). Makanan ini dijual Rp20.000-Rp25.000 per porsi
Selepas menyikat nasi dan sangsang tentu tak afdol jika tidak ditemani segelas tuak sambil mengobrol dengan kerabat atau rekan sejawat. Ada banyak lapo tuak di seantero Jakarta seperti deretan lapo di dalam Terminal Angkutan Kota Senen, Jakarta Pusat, Jl Pramuka, Jl Sutoyo, Cililitan hingga belakang gedung DPR/MPR Senayan.
Salah satunya lapo milik Rianto Simanjuntak (53) yang sudah sekitar 35 tahun membuka lapo di Terminal Senen. Setidaknya ada 10 lapo di terminal yang menghubungkan angkutan kota dari pusat, selatan, timur dan utara tersebut.(aka)
Baca Juga: