Pengembangan Vaksin, Indonesia Butuh Dana Rp 30 Triliun
Rabu, 04 Maret 2015 -
MerahPutih Kesehatan- Meski pengembangan vaksin pernah menghadapi beberapa permasalahan, namun saat ini strategi pengembangan vaksin telah mengalami perubahan dan kemajuan pesat sejalan dengan pengembangan teknologi.
Guru Besar Ilmu Mikrobiologi Klinik Universitas Indonesia (UI), Amin Soebandrio memaparkan dalam penerapan teknologi pengembangan vaksin perlu dipertimbangkan beberapa hal, antara lain harga per dosis, kecepatan dan kemudahan produksi, pilihan substrat untuk menumbuhkan virus atau mengekspresikan antigen virus. Proteksi silang terhadap galur varian, Efikasi secara umum dan pada populasi yang secara imunologis naif, Keamanan, dan Penerimaan oleh Badan Regulator dan Masyarakat.
"Peneliti di Indonesia sedang berupaya membangun kemandirian dengan mengembangkan vaksin yang lebih efektif, murah, aman, antara lain dengan penerapan berbagai teknik rekombinan DNA. Indonesia harus mengambil pelajaran dari ancaman flu burung dan flu babi yang lalu," kata Soebandrio saat menjadi pembicara pada acara Temu Media bertajuk "Perkembangan Program Imunisasi di Indonesia" di FKUI, Salemba, Jakarta Pusat, Rabu (4/3).
Menurut Soebandrio, dengan populasi sekitar 240 juta, untuk blanket immunization yang mencakup 50% populasi (masing-masing 2 dosis), Indonesia akan membutuhkan 230 Juta dosis. Jika harga vaksin impor diasumsikan sekitar 10 USD per dosis, dibutuhkan 2300 Juta USD= 2,3 x 109 x 13.000 Rupiah, atau sekitar 30 triliun rupiah.
"Itupun jika jumlah sebanyak itu tersedia, karena kapasitas produksi dunia hanya sekitar 80 juta dosis per minggu untuk 6.5 miliar penduduk," pungkasnya. (Baca: PAPDI: Canangkan Imunisasi untuk Dewasa)
Dikatakannya, pengembangan kemandirian nasional dalam penyediaan vaksin dilakukan dengan membangun Konsorsium Riset Vaksin. Seperti, Konsorsium Vaksin Tuberkulosis yang terdiri dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, UI, ITB, Universitas Padjadjaran, UGM, Universitas Airlangga, Universitas Brawijaya, Universitas Hasanuddin dan PT Bio Farma.
Sementara untuk Konsorsium Vaksin Dengue yang terdiri dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Universitas Airlangga, UI, UGM, Lembaga Eijkman, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Universitas Al Azhar Indonesia, Pusat Studi Satwa Primata IPB dan PT Biofarma.
Adapun untuk Konsorsium Vaksin AI yang terdiri dari Lembaga Eijkman, Badan Litbangkes, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Fakultas Teknik Universitas Indonesia, PT Biofarma dan Universitas Airlangga
"Selain itu, beberapa vaksin juga sudah dalam pipeline penelitian, antara lain Vaksin Rotavirus, Vaksin HPV, dan Vaksin Pneumokokus," katanya. (hur)