Penerapan Indikasi Geografis dan AI Jadi Tantangan Pelestarian Motif Batik di Indonesia

Jumat, 28 Juli 2023 - Hendaru Tri Hanggoro

BATIK Indonesia menghadapi banyak tantangan pada masa depan. Meski kini batik telah digunakan oleh berbagai kalangan masyarakat, tantangan ke depan dinilai semakin berat.

Dari sekian banyak tantangan itu, ada dua yang harus segera dibereskan oleh pelaku industri batik Indonesia, yaitu penerapan indikasi geografis (IG) dan artificial intelligence/kecerdasan buatan (AI).

Demikian diungkap oleh Prof. Dr. Rahardi Ramelan M. Sc M.E, anggota Dewan Pembina Yayasan Batik Indonesia (YBI) dalam acara batik yang digelar di Jakarta, Rabu (26/7), seperti dikutip Antara.

Mantan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Indonesia di era pemerintahan Presiden B.J Habibie itu mengatakan, indikasi geografis (IG) menjadi aspek penting dalam mendorong perkembangan batik Indonesia sekaligus menjaga kelestarian motif batik.

Indikasi geografis secara sederhana adalah tanda yang menunjukkan daerah asal sesuatu barang dan atau produk yang karena faktor lingkungan dan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi kedua faktor tersebut, memberikan reputasi kualitas dan karakteristik tertentu pada barang yang bisa dibedakan dengan benda lain.

Meski sudah sedemikian rupa disederhanakan, definisi ini terasa masih sangat sulit. Akibatnya, menurut Rahardi, Indonesia kesulitan mendapatkan izin indikasi geografis karena perlu membatasi wilayah dengan jelas sesuai produksi barang tertentu.

Baca juga:

Lorong Waktu, Karya Maestro Batik Indonesia dalam Closing Night JF3

"Maka itu Yayasan Batik Indonesia bersama Kementerian Perindustrian bersemangat untuk mendapatkan izin batik. Yang pertama dapat izin indikasi geografis batik Nitik," ucap Rahardi.

Peluncuran IG batik nitik telah dilakukan pada 2021 dan diresmikan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono X.

Rahardi sendiri bergiat mengampanyekan manfaat indikasi geografis melalui seminar dan diskusi.
Dalam suatu webinar yang diselenggarakan Museum Tekstil Jakarta, Rahardi setidaknya menyebut tiga manfaat indikasi geografis.

IG melindungi nama produk terkenal dari penyalahgunaan dan pemalsuan, mendorong pengembangan wilayah/masyarakat pemilik IG, dan membantu konsumen dengan informasi tentang karakteristik spesifik dari produk.

Dalam mendapatkan izin di bidang kerajinan, ia mengatakan Indonesia cukup tertinggal dari negara lainnya seperti Thailand, India, dan Vietnam yang sudah banyak mendaftarkan izin indikasi geografis.

Baca juga:

Mengenal Google Doodle Hari ini, Pelopor Batik Indonesia KRT Hardjonagoro



Rahardi menambahkan, dorongan dari kelompok yang memiliki kerajinan di daerah tertentu yang bisa mengangkat produknya dan mengusulkan untuk mendapat izin tersebut.

"Yang diingat indikasi geografis harus diusulkan dari bawah, harus usul dari kelompok-kelompok yang memiliki kerajinan batik itu mengusulkan melalui tingkat-tingkatnya. Di sini kadang ada kesulitan," terang Rahardi.

Rahardi juga membeberkan, jika batik dari daerah di Indonesia terdaftar dalam indikasi geografis, bisa menguntungkan tidak hanya dari penjualan produk, tapi juga daerah yang mewakilinya.

Pada akhirnya, batik bisa berdampak berantai ke peningkatan kunjungan wisata karena nilai daerahnya bisa naik hingga 10 persen melalui indikasi geografis.

Saat ini batik yang sudah mendapatkan izin indikasi geografis adalah batik Nitik dari Yogyakarta, batik Complongan Indramayu, batik Besurek Bengkulu, dan Sarung batik Pekalongan.

Hingga hari ini, YBI terus mendorong tiga daerah lainnya untuk mendapatkan izin indikasi geografis, yaitu batik Merawit dari Cirebon, batik Gedog dari Tuban, dan batik Gentong dari Madura.

Selain indikasi geografis, Rahardi mengkhawatirkan perkembangan teknologi Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan dalam produksi batik. Dalam pandangannya, AI dapat mengurangi nilai seni yang ada pada batik.

Namun ia juga tak menolak mentah-mentah AI. Baginya, selama AI digunakan untuk mendesain batik dengan seni dari pengrajin, itu sama sekali tidak masalah.

Ia menekankan agar pedagang dan produsen batik jujur untuk menulis batik yang dijualnya. Apakah mereka memproduksi batik tulis atau batik cap. Ini untuk menghindari penipuan kepada konsumen. (dru)

Baca juga:

Mengamankan Batik Indonesia Dengan Regulasi dan Inovasi

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan