Pakar Hukum Nilai Presidential Treshold Sangat Oligarki

Rabu, 01 Juli 2020 - Angga Yudha Pratama

Merahputih.com - Pakar hukum tata negara Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Fahri Bachmid menilai pasal 222 UU RI Nomor 7 Tahun 2017 terkait sistem Pemilu presiden, secara konstitusional tidak dapat ditafsirkan terbalik dengan pranata 'presidential threshold'.

Ketentuan itu, mengatur pasangan Capres yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperolah 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.

Baca Juga:

YLBHI Pertanyakan Harta Miliaran Jaksa Penuntut Kasus Novel Baswedan

"Ini merupakan pranata serta norma yang sangat “oligarkis”dan tidak sejalan dengan 'spirit' konstitusi," tegasnya.

Berdasarkan desain konstitusional terkait Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang diatur dalam ketentuan norma pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 menyebutkan "Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”.

Ilustrasi Pilkada serentak 2020. ANTARA/Ardika

Kemudian ketentuan pasal 22E ayat (2) yang mengatur tentang Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota DPR RI, DPD RI, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serta ayat (3) ketentuan ayat (3), mengatur tentang Peserta Pemilihan umum untuk memilih anggota DPR RI, dan anggota DPRD adalah partai politik.

Oleh karena itu, menghapus ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden penting dilakukan dalam rangka dan sebagai sebuah upaya ikhtiar yang sunguh-sungguh.

Baca Juga:

Ketua MPR Usul Ambang Batas Parlemen Naik Jadi 6-7 Persen

Hal itu, sebagaimana dikutip Antara, untuk menegakkan prinsip negara hukum yang demokratis dan penegakan supremasi konstitusi serta paham konstitusionalisme yang dianut saat ini. (*)

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan