10 Pahlawan Nasional yang Ditetapkan Prabowo Hari Ini: Profil Lengkap dan Jasa Mereka untuk Indonesia

Senin, 10 November 2025 - ImanK

MerahPutih.com - Hari Pahlawan 10 November 2025 menjadi momen bersejarah bagi Indonesia. Presiden Prabowo Subianto resmi menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada sepuluh tokoh yang telah memberikan kontribusi luar biasa bagi bangsa dan negara.

Upacara penganugerahan berlangsung khidmat di Istana Negara Jakarta, dihadiri keluarga ahli waris para pahlawan serta pejabat tinggi negara.

Penetapan kesepuluh nama ini tertuang dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 116/TK/Tahun 2025 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional, yang dibacakan oleh Sekretaris Militer Presiden Mayor Jenderal TNI Wahyu Yudhayana.

Dari sepuluh nama tersebut, dua di antaranya adalah mantan presiden, satu aktivis buruh, ulama, diplomat, tokoh pendidikan, hingga pejuang kemerdekaan dari berbagai penjuru nusantara.

Berikut profil lengkap dan jasa-jasa kesepuluh Pahlawan Nasional yang ditetapkan hari ini:

Baca juga:

IM57+ Kritik Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto: Bentuk Pengaburan Sejarah Koruptif

Pahlawan Nasional 2025

1. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) - Bapak Pluralisme Indonesia

pahlawan-nasional-2025-profil-lengkap

Kyai Haji Abdurrahman Wahid atau lebih dikenal dengan sebutan Gus Dur merupakan Presiden Keempat Republik Indonesia yang menjabat dari 20 Oktober 1999 hingga 23 Juli 2001.

Lahir di Jombang, Jawa Timur, Gus Dur adalah putra dari Menteri Agama Wahid Hasyim dan cucu dari pendiri Nahdlatul Ulama (NU), KH Hasyim Asy'ari.

Gus Dur menempuh pendidikan di berbagai pesantren di tanah air, kemudian melanjutkan studi ke Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir, dan Universitas Baghdad, Irak.

Kepemimpinannya di NU dimulai ketika ia terpilih sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada 1984, jabatan yang dipegangnya selama tiga periode hingga 1999.

Kontribusi dan Jasa:

Gus Dur dikenal sebagai Bapak Pluralisme Indonesia karena kebijakannya yang mendorong keberagaman dan melindungi hak-hak minoritas.

Salah satu kebijakan paling monumental adalah mencabut Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 yang melarang perayaan Imlek dan membatasi kegiatan kebudayaan Tionghoa.

Baca juga:

Presiden Prabowo Resmi Anugerahkan Gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto

Langkah berani ini mengakhiri diskriminasi terhadap etnis Tionghoa yang berlangsung selama era Orde Baru.

Selama masa kepresidenannya, Gus Dur membubarkan Departemen Penerangan yang menjadi alat rezim Orde Baru dalam mengontrol media, membuka kebebasan pers yang lebih luas.

Ia juga menjadikan Konfusianisme sebagai agama resmi keenam di Indonesia pada tahun 2000. Di bidang ekonomi, pemerintahannya berhasil menumbuhkan ekonomi hingga 4,9 persen pada tahun 2000 dan menurunkan rasio gini (ketimpangan ekonomi) hingga 0,31, yang merupakan terendah dalam 50 tahun terakhir.

Gus Dur wafat pada 30 Desember 2009 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta dan dimakamkan di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur.

2. Jenderal Besar TNI Soeharto - Presiden Kedua Republik Indonesia

pahlawan-nasional-2025-profil-lengkap

Jenderal Besar TNI (Purn.) Soeharto lahir di desa Kemusuk, Kemusuk Argomulyo, dekat Yogyakarta pada 8 Juni 1921 dari pasangan Kertosudiro dan Sukirah.

Soeharto pahlawan nasional tumbuh dalam lingkungan sederhana dan orang tuanya bercerai tidak lama setelah ia lahir, sehingga ia tinggal bersama orang tua angkatnya selama sebagian besar masa kecilnya.

Baca juga:

Soeharto Ditetapkan Sebagai Pahlawan Nasional, dari Prajurit PETA hingga Presiden 32 Tahun

Karier militer Soeharto dimulai pada masa pendudukan Jepang di Hindia Belanda, ketika ia bertugas di pasukan keamanan Indonesia yang diorganisir oleh Jepang.

Setelah kemerdekaan Indonesia, ia bergabung dengan Tentara Nasional Indonesia dan naik pangkat menjadi Mayor Jenderal.

Puncak karier militernya adalah ketika ditunjuk sebagai Panglima Komando Mandala Pembebasan Irian Barat pada 1962.

Peran dalam Penumpasan G30S/PKI:

Ketika peristiwa Gerakan 30 September 1965 meletus pada 1 Oktober 1965, Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) bergerak cepat mengambil alih kendali dan mengendalikan situasi negara yang kacau.

Ia kemudian diangkat sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat menggantikan Jenderal Ahmad Yani yang gugur.

Pada 11 Maret 1966, Soeharto menerima Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) dari Presiden Soekarno yang memberikan kekuasaan untuk mengambil tindakan demi terjaminnya keamanan dan kestabilan pemerintahan.

Melalui Sidang Istimewa MPRS pada 7 Maret 1967, Soeharto ditunjuk sebagai Pejabat Presiden dan kemudian dilantik sebagai Presiden Kedua Republik Indonesia pada 1968.

Baca juga:

Momen Presiden Prabowo Subianto Pimpin Upacara Ziarah Nasional Hari Pahlawan

Masa Pemerintahan:

Soeharto memimpin Indonesia selama 31 tahun (1967-1998), menjadikannya presiden dengan masa jabatan terlama dalam sejarah Indonesia. Era kepemimpinannya dikenal sebagai masa Orde Baru yang membawa stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi.

Ketika Soeharto berkuasa, inflasi mencapai lebih dari 650 persen, namun dengan kebijakan ekonomi pasar bebas yang diterapkan kelompok penasihat ekonominya, Indonesia memasuki periode stabilitas harga pada 1969.

Di bidang hubungan internasional, Soeharto mengembalikan Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 28 September 1966, setelah sebelumnya keluar pada masa Presiden Soekarno. Pemerintahannya berakhir pada Mei 1998 ketika gerakan reformasi menuntut perubahan politik di Indonesia.

Soeharto wafat pada 27 Januari 2008 di Jakarta. Penetapannya sebagai Pahlawan Nasional diterima oleh ahli warisnya, yaitu Siti Hardijanti Hastuti Rukmana (Tutut Soeharto) dan Bambang Trihatmodjo dalam upacara di Istana Negara.

3. Marsinah - Simbol Perjuangan Hak-Hak Buruh

pahlawan-nasional-2025-profil-lengkap

Baca juga:

Mensos Sebut Soeharto Penuhi Syarat Jadi Pahlawan Nasional, Ajak Publik Ingat yang Baik-Baik

Marsinah lahir di Desa Nglundo, Kecamatan Sukomoro, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur pada 10 April 1969. Ia adalah anak kedua dari tiga bersaudara yang ibunya meninggal saat ia berusia tiga tahun.

Marsinah menempuh pendidikan di SDN Nglundo 2, SMPN 5 Nganjuk, dan SMA Muhammadiyah 1 Nganjuk, di mana ia dikenal sebagai siswa mandiri dan cerdas.

Selepas SMA, keterbatasan biaya membuatnya tidak dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi. Marsinah kemudian bekerja sebagai buruh di PT Catur Putra Surya (CPS), sebuah pabrik jam tangan di Porong, Sidoarjo. Meski bekerja di pabrik, Marsinah tetap aktif mengikuti berbagai kursus untuk menambah pengetahuan dan memiliki minat baca yang tinggi.

Perjuangan dan Keberanian:

Sebagai buruh, Marsinah memiliki keingintahuan tinggi tentang aturan ketenagakerjaan. Banyak rekan kerjanya meminta saran darinya terkait berbagai hal dan ia tidak segan tampil membela teman-temannya yang diperlakukan tidak adil oleh perusahaan.

Marsinah menjadi pelopor aksi buruh di lingkungan perusahaannya dengan memperjuangkan hak-hak pekerja yang seringkali diabaikan.

Baca juga:

KSP Qodari Sebut Kakek Presiden Prabowo, Sang Bapak Oeang RI, Lebih dari Layak Jadi Pahlawan Nasional

Pada tahun 1993, pemerintah Jawa Timur mengeluarkan Surat Keputusan Gubernur tentang kenaikan upah minimum regional (UMR) dari Rp1.700 menjadi Rp2.250 per hari. Namun, manajemen PT CPS menolak menaikkan upah sesuai ketetapan tersebut.

Sebagai respons, Marsinah dan rekan-rekannya mengorganisir aksi mogok kerja pada 3-4 Mei 1993, menuntut 12 poin perbaikan kondisi kerja termasuk kenaikan upah sesuai ketentuan pemerintah, perhitungan upah lembur yang adil, jaminan kesehatan, dan larangan intimidasi terhadap buruh yang melakukan pemogokan.

Marsinah menjadi salah satu dari 15 perwakilan karyawan yang melakukan perundingan dengan pihak perusahaan dan Departemen Tenaga Kerja.

Pada 5 Mei 1993, 13 buruh yang dianggap menghasut unjuk rasa digiring ke Komando Distrik Militer 0816/Sidoarjo dan dipaksa mengundurkan diri. Marsinah sempat mendatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan keberadaan rekan-rekannya. Sekitar pukul 10 malam pada hari yang sama, Marsinah menghilang.

Pada 8 Mei 1993, jenazah Marsinah ditemukan di hutan Dusun Jegong, Desa Wilangan, Nganjuk, dalam kondisi yang sangat mengenaskan dengan luka-luka di sekujur tubuh.

Kematiannya mengejutkan masyarakat luas dan menjadikannya simbol perjuangan hak-hak buruh di Indonesia pada era Orde Baru. Hingga kini, nama Marsinah diabadikan sebagai ikon perjuangan keadilan bagi para pekerja.

Baca juga:

Peringatan Hari Pahlawan 10 November, Seluruh Rakyat Indonesia Diminta Mengheningkan Cipta Serentak Pukul 08.15

4. Mochtar Kusumaatmadja - Arsitek Hukum Laut Indonesia

pahlawan-nasional-2025-profil-lengkap

Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja lahir di Batavia (Jakarta) pada 17 Februari 1929. Ia adalah pakar hukum laut internasional dan diplomat ulung yang memberikan kontribusi besar bagi Indonesia dalam memperjuangkan pengakuan sebagai negara kepulauan di tingkat internasional.

Mochtar Kusumaatmadja menyelesaikan studinya di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran pada 1950-an dan melanjutkan studi master di Fakultas Hukum Universitas Yale, Amerika Serikat, dengan predikat cum laude pada 1956.

Sejak menjadi dosen di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran pada 1959, nama Mochtar tidak dapat dipisahkan dari pengembangan pendidikan hukum di Indonesia. Ia diangkat sebagai Guru Besar pada 1970 dan menjadi Rektor Unpad pada 1973-1974.

Kontribusi Monumental:

Torehan terbesar Prof. Mochtar adalah perannya dalam memperjuangkan pengakuan Indonesia sebagai Negara Kepulauan di tingkat internasional.

Ia merupakan konseptor dan penggagas Deklarasi Djuanda 1957 yang menetapkan bahwa laut Indonesia bukan lagi pemisah pulau-pulau, melainkan pemersatu wilayah nusantara.

Baca juga:

Citra Pembatasan Kebebasan Demokrasi hingga Isu KKN, Alasan Soeharto Ditolak Jadi Pahlawan Nasional

Konsep ini diperjuangkannya dalam berbagai konferensi PBB tentang Hukum Laut Internasional dari 1957 hingga 1982.

Setelah perjuangan selama 25 tahun melalui forum-forum internasional, konsep negara kepulauan akhirnya diakui dunia internasional melalui United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) III yang ditandatangani di Montego Bay, Jamaica pada 1982.

Pengakuan ini menjadikan wilayah laut Indonesia bertambah dari sekitar 2 juta km² menjadi 6,4 juta km² termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).

Karier Politik dan Diplomasi:

Kemampuan Prof. Mochtar di bidang hukum dan diplomasi membuatnya dipercaya menduduki kursi Menteri Kehakiman pada Kabinet Pembangunan II (1974-1978), kemudian Menteri Luar Negeri pada Kabinet Pembangunan III dan IV (1978-1988).

Sebagai Menteri Luar Negeri, ia dikenal cerdas dan piawai dalam diplomasi, bahkan mampu mencairkan suasana perundingan yang tegang. Ia menggagas pendekatan informal melalui cocktail party sebagai media diplomasi.

Selama menjabat Menteri Luar Negeri, Prof. Mochtar menyelesaikan berbagai permasalahan internasional, antara lain krisis manusia perahu Vietnam, berperan sebagai mediator penyelesaian konflik Vietnam-Kamboja, menangani masalah Timor Timur, dan melanjutkan perjuangan Gerakan Non-Blok.

Prof. Mochtar Kusumaatmadja wafat pada 6 Juni 2021 di RS Siloam Jakarta dalam usia 92 tahun. Ia juga dikenal sebagai pendiri kantor hukum MKK (Mochtar Kusumaatmadja & Co.) yang menjadi salah satu firma hukum terkemuka di Indonesia.

Baca juga:

Ramalan Zodiak, 10 November 2025: Masalah Asmara dan Keuangan, Ada Solusi?

5. Rahmah El Yunusiyyah - Pelopor Pendidikan Perempuan Indonesia

pahlawan-nasional-2025-profil-lengkap

Syekhah Hajjah Rangkayo Rahmah El Yunusiyyah lahir di Nagari Bukit Surungan, Padang Panjang, Sumatera Barat pada 20 Desember 1900 dari pasangan Mohammad Yunus dan Rafiah.

Ayahnya merupakan ulama besar yang menjabat sebagai kadi di Pandai Sikek, Tanah Datar, sementara kakeknya Imanuddin adalah ahli ilmu falak dan pemimpin Tarekat Naqsyabandiyah.

Sejak kecil Rahmah sudah ditinggal ayahnya dan dibesarkan oleh ibu serta kakak-kakaknya dalam lingkungan yang taat kepada ajaran agama.

Rahmah adalah seorang otodidak yang belajar dari kakak-kakaknya, Zainuddin Labay dan M. Rasyad. Ia juga belajar agama kepada Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul), Tuanku Mudo, dan Abdul Hamid. Antara tahun 1931-1935, Rahmah mengikuti kursus ilmu kebidanan di Rumah Sakit Umum Kayutanam.

Mendirikan Diniyyah Puteri:

Pada 1 November 1923, Rahmah mendirikan Madrasah Diniyyah Puteri Padang Panjang, yang menjadi sekolah khusus perempuan pertama di Indonesia.

Pendirian sekolah ini dilatarbelakangi cita-cita dan kepedulian untuk mengangkat harkat dan derajat kaum perempuan di tengah tradisi yang menghambat mereka mendapat kesempatan mengenyam pendidikan yang memadai setara dengan kaum laki-laki.

Baca juga:

Wacana Soeharto Pahlawan Dinilai Menampar Sejarah Kebebasan Pers

Visi Rahmah mengacu pada hadis yang menyatakan bahwa menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim, baik pria maupun wanita. Baginya, cara terbaik memenuhi perintah tersebut adalah memberikan perempuan kesempatan untuk bersekolah.

Kurikulum Diniyyah Puteri sejak masa Rahmah meliputi pelajaran agama, bahasa Arab, pelajaran umum, dan keterampilan, memadukan kurikulum Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta kurikulum lokal.

Warisan dan Pengaruh:

Rahmah El Yunusiyyah dijuluki sebagai Srikandi Emansipasi Pendidikan Perempuan dari Minangkabau. Kontribusinya dalam pendidikan Islam di Sumatera Barat dapat disejajarkan dengan Taman Siswa yang didirikan Ki Hajar Dewantara di Yogyakarta pada 1922.

Ia mendobrak tradisi lama dan menanamkan nilai-nilai keislaman yang progresif, menjadikan Diniyyah Puteri sebagai model pendidikan perempuan yang menggabungkan ilmu agama, pengetahuan umum, dan keterampilan praktis.

Rahmah El Yunusiyyah wafat pada 26 Februari 1969 di Padang Panjang. Hingga kini, Perguruan Diniyyah Puteri yang didirikannya tetap berdiri dan menjadi warisan pendidikan Islam yang berharga bagi Indonesia.

6. Jenderal TNI (Purn.) Sarwo Edhie Wibowo - Peletak Dasar Kopassus

pahlawan-nasional-2025-profil-lengkap

Letnan Jenderal TNI (Purn.) Sarwo Edhie Wibowo lahir di Pangenjuru, Purworejo, Jawa Tengah pada 25 Juli 1927 dari pasangan Raden Kartowilogo dan Raden Ayu Sutini yang berasal dari keluarga PNS yang bekerja untuk Pemerintah Kolonial Belanda.

Nama aslinya adalah Edhie, namun karena sering sakit-sakitan sesuai adat Jawa, nama Edhie ditambah dengan Sarwo dan setelah menikah menjadi Sarwo Edhie Wibowo sesuai pesan ayahnya dengan harapan kelak ia memiliki kewibawaan.

Sarwo Edhie adalah ayah dari Kristiani Herrawati (Ani Yudhoyono), istri Presiden ke-6 Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono, dan juga ayah dari Pramono Edhie Wibowo, mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD).

Baca juga:

AJI dan ELSAM Tolak Pemberian Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto: Diktator dan Pelanggar HAM!

Peran dalam Penumpasan G30S/PKI:

Sarwo Edhie memiliki peran sangat besar dalam penumpasan Gerakan 30 September 1965 dalam posisinya sebagai Panglima Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD), yang kini dikenal sebagai Komando Pasukan Khusus (Kopassus).

RPKAD merupakan usaha Indonesia menciptakan unit pasukan khusus dan pengangkatan Sarwo Edhie sebagai komandannya berkat kepercayaan Jenderal Ahmad Yani.

Pada pagi hari 1 Oktober 1965, enam jenderal termasuk Ahmad Yani diculik dari rumah mereka dan dibawa ke Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma.

Sementara itu, Sarwo Edhie dan pasukan RPKAD sedang berada di markas RPKAD di Cijantung, Jakarta. Kolonel Herman Sarens Sudiro tiba membawa informasi dari Kostrad dan memberitahu bahwa Mayor Jenderal Soeharto diasumsikan akan menjadi pimpinan Angkatan Darat.

Setelah memberikan pemikiran, Sarwo Edhie mengirim Sudiro kembali dengan pesan bahwa ia akan berpihak dengan Soeharto.

Memulai serangan pada pukul 02.00 dini hari tanggal 2 Oktober, Sarwo Edhie dan RPKAD berhasil mengambil alih Pangkalan Udara Halim pada pukul 06.00 pagi.

Hanya dalam waktu kurang dari satu bulan, pasukan RPKAD di bawah komando Sarwo Edhie berhasil memukul mundur pasukan Gerakan 30 September dan merebut kembali Radio Republik Indonesia (RRI) yang dikuasai PKI.

Warisan Kepemimpinan:

Sarwo Edhie dikenal sebagai sosok prajurit tangguh, komandan berani, dan arsitek Kopassus modern. Fondasi yang ia bangun di pasukan elite tersebut mencakup aspek krusial seperti disiplin baja, kemampuan bertempur dalam segala medan, dan kesetiaan mutlak pada negara.

Di bawah kepemimpinannya, RPKAD diasah menjadi unit gerak cepat yang mampu menyelesaikan misi-misi sulit dalam waktu singkat. Warisan ini terlihat dalam reputasi Kopassus saat ini sebagai salah satu pasukan khusus terbaik di dunia.

Selain karier militernya, Sarwo Edhie pernah menjabat sebagai Ketua BP-7 Pusat, Duta Besar Indonesia untuk Korea Selatan, dan Gubernur AKABRI. Ia wafat pada 9 November 1989.

Baca juga:

Dukung Gagasan Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto, PBNU Soroti Jasa Besar dalam Pembangunan Ekonomi

7. Sultan Muhammad Salahuddin - Pahlawan dari Timur Indonesia

pahlawan-nasional-2025-profil-lengkap

Sultan Muhammad Salahuddin adalah Sultan Bima XIV yang memerintah Kesultanan Bima dari tahun 1915 hingga 1951.

Ia lahir di Bima pada 15 Zulhijah 1306 H (14 Juli 1889) dan dikenal dengan gelar Ruma Ma Kidi Agama (yang menegakkan agama) karena perannya sebagai sultan sekaligus pemuka agama.

Visi Pendidikan:

Sultan Salahuddin dikenal sebagai pemimpin visioner yang menembus batas zaman dengan menempatkan pendidikan sebagai prioritas utama.

Di tengah tekanan kolonial Belanda, ia membuka akses pendidikan luas bagi rakyat dengan mendirikan berbagai sekolah.

Sultan Muhammad Salahuddin mendirikan Hollandsch Inlandsche School (HIS) di Raba pada 1921, Sekolah Kejuruan Wanita pada 1922, serta Sekolah Agama dan Umum di setiap Kejenelian pada tahun yang sama.

Hingga akhir masa pemerintahannya, Sultan Muhammad Salahuddin telah membangun 60 sekolah termasuk membentuk Yayasan Islam Bima.

Sekolah-sekolah yang ia dirikan tersebar di setiap kejenelian (setingkat kecamatan) dan desa, yang kemudian berkembang menjadi Sekolah Rakyat dan Sekolah Dasar hingga saat ini. Ia juga mendirikan Sekolah Agama seperti Darul Ulum.

Perjuangan Kemerdekaan:

Berbeda dengan banyak kerajaan lain yang memilih bertahan di bawah bayang-bayang Belanda, Sultan Muhammad Salahuddin memimpin Bima membebaskan diri dari cengkeraman kolonial selama 103 hari sebuah peristiwa langka di wilayah timur Indonesia.

Baca juga:

Bahlil Lahadalia Minta Soeharto Jadi Pahlawan Nasional, Ungkit Peran Transmigrasi dalam 'Menjodohkan' Suku Jawa dan Papua

Puncak perjuangannya tercatat dalam Maklumat 22 November 1945, ketika Sultan menyatakan kesetiaan penuh Kesultanan Bima kepada Republik Indonesia yang baru berdiri.

Langkah politik terbesar ini diambil di masa penuh ketidakpastian, ketika sebagian wilayah Nusantara masih ragu antara tunduk pada kolonialisme atau bergabung dengan republik muda. Sultan memilih Indonesia dengan kesadaran moral bahwa kemerdekaan adalah hak rakyat, bukan anugerah kekuasaan.

Pada 1946 saat Konferensi Malino, Sultan Muhammad Salahuddin memperjuangkan agar Indonesia tidak terpecah belah.

Sultan Muhammad Salahuddin wafat pada 1951. Bandar Udara di Bima dinamakan Bandar Udara Sultan Muhammad Salahuddin sebagai bentuk penghormatan atas jasa-jasanya.

8. Syaikhona Muhammad Kholil - Guru Para Ulama Nusantara

pahlawan-nasional-2025-profil-lengkap

Al-'Aalim Al-'Allaamah Asy-Syekh Al-Hajji Muhammad Kholil bin Abdul Lathif al-Bangkalani al-Maduri al-Jawi asy-Syafi'i atau lebih dikenal sebagai Syaikhona Kholil Bangkalan lahir pada 11 Jumadil Akhir 1235 H atau 27 Januari 1820 M di Bangkalan, Madura, Jawa Timur. Ia berasal dari keluarga ulama yang memiliki pertalian darah dengan Sunan Gunung Jati, salah satu Wali Songo.

Ayahnya, KH Abdul Lathif, mendidiknya dengan sangat ketat. Sejak usia muda, Mbah Kholil menunjukkan bakat istimewa dengan kehausan akan ilmu yang luar biasa, terutama ilmu fiqh dan nahwu.

Ia bahkan sudah hafal dengan baik Nazham Alfiyah Ibnu Malik (seribu bait yang membahas ilmu nahwu) sejak usia muda.

Baca juga:

Penyintas Tragedi Tanjung Priok Nilai Gelar Pahlawan untuk Soeharto Bentuk Ketidakadilan

Pengembaraan Ilmu:

Untuk menuntut ilmu, Syaikhona Kholil mengembara ke berbagai pesantren di Jawa sejak sekitar tahun 1850-an ketika usianya menjelang tiga puluh tahun.

Ia juga menempuh perjalanan spiritual dan keilmuan ke Mekkah selama bertahun-tahun, menyerap beragam disiplin ilmu agama mulai dari fiqh, tafsir, hadits, hingga tasawuf.

Keluasan ilmunya menjadikannya sosok yang dihormati dan menjadi rujukan utama bagi para penuntut ilmu di masanya.

Mahaguru Ulama:

Gelar "Syaikhona" yang berarti "Guru Kami" atau "Mahaguru" diberikan dengan tulus oleh para santri dan ulama sebagai pengakuan atas kedalaman pengetahuan dan peran pentingnya dalam mencetak generasi ulama pejuang di Nusantara.

Syekh Yasin al-Fadani menerangkan terdapat sekitar 500.000 santri yang telah lulus di bawah asuhannya, tiga ribu di antaranya menjadi pemimpin umat dan dijuluki sebagai "pendiri" Pulau Jawa, Pulau Sumatra, dan Pulau Madura.

Di antara murid-murid terkenal Syaikhona Kholil adalah KH Hasyim Asy'ari (pendiri Nahdlatul Ulama dan Pondok Pesantren Tebuireng Jombang), KH Abdul Wahab Chasbullah (salah satu pendiri NU), dan KH R As'ad Syamsul Arifin. Ketiga murid besar ini kemudian juga dianugerahi gelar Pahlawan Nasional pada tahun-tahun sebelumnya.

Selain murid-murid dari kalangan pribumi, terdapat lebih dari dua ratus orang keturunan Arab yang belajar kepadanya, di mana setiap orang mendapat gelar al-'All?mah (guru besar) atau al-'Arif billah (ulama yang sangat dekat kepada Allah) atau juga al-Faqih (ahli fiqih).

Julukan Bung Karno:

Baca juga:

Koalisi Sipil: Usulan Gelar Pahlawan Soeharto Bentuk Pemutihan Dosa Orba

Berdasarkan beberapa sumber, meski Bung Karno tidak resmi sebagai murid Kiai Kholil, namun ketika sowan ke Bangkalan, Kiai Kholil memegang kepala Bung Karno dan meniup ubun-ubunnya sebagai bentuk barakah.

Syaikhona Muhammad Kholil wafat pada 1925 dan dimakamkan di Martajasah, Bangkalan, Madura. Makamnya hingga kini menjadi tempat ziarah yang ramai dikunjungi para peziarah dari berbagai penjuru nusantara.

9. Tuan Rondahaim Saragih Garingging - Napoleon der Bataks

pahlawan-nasional-2025-profil-lengkap

Tuan Rondahaim Saragih Garingging dengan gelar Raja Raya Namabajan adalah Raja ke-14 Kerajaan Raya atau Partuanan Raya di Simalungun, Sumatera Utara.

Ia lahir pada tahun 1828 di Juma Simandei, Sinondang, Pematang Raya, ibu kota Partuanan Raya dari pasangan Tuan Jinmahadim Saragih Garingging (penguasa Partuanan Raya) dan Puang Ramonta boru Purba Dasuha (putri dari Guru Raya).

Oleh karena Puang Ramonta hanyalah selir dari Tuan Jimmahadim, kehidupan Rondahaim dan ibunya serba kekurangan. Pada masa kecilnya, Rondahaim diperkenalkan oleh keempat pamannya kepada Raja Padang Tengku Muhammad Nurdin. Ia belajar bahasa Melayu dan ilmu pemerintahan selama tinggal di Kerajaan Padang.

Julukan "Napoleon der Bataks":

Pemerintah Kolonial Belanda menjuluki Tuan Rondahaim sebagai "Napoleon der Bataks" atau Napoleon-nya orang-orang Batak karena perlawanannya yang gigih hingga akhir hayat terhadap upaya penaklukan Raya oleh Belanda. Julukan ini mencerminkan ketangguhannya dalam mempertahankan wilayah Partuanan Raya.

Baca juga:

Sultan Bima XIV Dikabarkan Bakal Dinobatkan Jadi Pahlawan Nasional

Awal keterlibatan Tuan Rondahaim dalam perang melawan kolonialisme Belanda dimulai ketika mengetahui pemerintah Belanda membuka perkebunan secara sepihak di wilayah yang dihuni orang Simalungun. Berbagai tindak kejahatan seperti pemerkosaan, perampokan, dan penyiksaan menimpa orang Simalungun.

Sepanjang tahun 1874 hingga 1878, Tuan Rondahaim sudah mulai mendengar kabar ini dan menyadari bahwa pasukan Belanda memiliki kekuatan dan persenjataan modern.

Strategi Perang:

Untuk menghadapi Belanda, Tuan Rondahaim terlebih dahulu menyiapkan pasukannya dengan pelatihan-pelatihan militer.

Ia mendatangkan guru-guru perang dari Tanah Gayo, Alas, dan Aceh ke Raya untuk mendidik pasukannya. Beberapa tokoh pejuang rakyat lain seperti Tengku Muhammad dari Aceh dan Si Singamangaraja XII dari Bakkara didatangkan ke Dalig Raya untuk membahas strategi perang semesta menghadapi Belanda.

Ia juga membangun komunikasi dengan Kesultanan Lima Laras (Batubara) untuk meningkatkan kerja sama di bidang pertahanan.

Baca juga:

Ini Kata Jokowi Soal Rencana Pemberian Gelar Pahlawan Nasional ke Soeharto

Tuan Rondahaim yang bergelar Tuan Namabajan pernah mengadang pasukan Belanda masuk ke Raya Kahean dengan menebang pohon besar hingga melintang di Gunung Simarsopah.

Tempat itu hingga kini dikenal dengan nama Pangolatan atau tempat mengadang Belanda. Gigihnya perjuangan Rondahaim membuat Belanda tidak pernah bisa masuk ke Kerajaan Raya meski sejumlah kerajaan lain di Simalungun sudah berhasil ditaklukan.

Partuanan Raya tercatat tidak pernah takluk kepada Belanda pada masa pemerintahan Tuan Rondahaim Saragih Garingging.

Barulah pada tahun 1901, sepuluh tahun setelah wafatnya Tuan Rondahaim pada Juli 1891, Partuanan Raya yang dipimpin oleh putranya Sumayan gelar Tuan Kapoltakan Saragih Garingging takluk kepada pemerintah kolonial Belanda.

Atas jasa-jasanya, Presiden BJ Habibie telah menganugerahkan Tanda Kehormatan Bintang Jasa kepada Tuan Rondahaim Saragih Garingging berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 077/TK/TAHUN 1999, tanggal 13 Agustus 1999.

10. Zainal Abidin Syah - Gubernur Papua Pertama

pahlawan-nasional-2025-profil-lengkap

Sultan Zainal Abidin Syah Sangaji lahir di Soa-Sio, Tidore pada 5 Agustus 1912 dari pasangan Dano Husain Alting dan Boki Salma Alting. Ia adalah Sultan Tidore periode 1947-1967 yang mempunyai peranan penting dalam sejarah perebutan kembali Papua Barat dari tangan Belanda.

Sikap Patriotik:

Ketika panasnya hubungan antara Indonesia dengan Belanda mengenai Irian Barat pada tahun 1950-an, Sultan Zainal Abidin Syah menunjukkan sikap patriotik yang luar biasa.

Pada bulan Februari 1949, Pemerintah Belanda mengundang Sultan Tidore untuk berkunjung ke Irian Barat (Manokwari).

Baca juga:

Tolak Pemberian Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto, GMNI: Pengkhianatan terhadap Sejarah dan Kemanusiaan

Walau berdiri sendirian menghadapi tekanan Belanda, Sultan Zainal Abidin Syah tidak berkompromi dan tetap pada pendiriannya menolak kebijakan Belanda terkait Irian Barat.

Keteguhan sikapnya mencerminkan dedikasi terhadap tanah air di tengah polemik antara Indonesia dan Belanda.

Gubernur Irian Barat Pertama:

Sikap patriotik Sultan Zainal Abidin Syah menggugah perhatian Presiden Ir. Soekarno. Melihat keteguhan Sultan Tidore mempertahankan Irian Barat, Presiden Soekarno datang ke Tidore untuk mengajak Sultan bersama-sama memperjuangkan pembebasan Irian Barat.

Pada 17 Agustus 1956, Presiden Soekarno mengumumkan pembentukan Provinsi Perjuangan Irian Barat dengan ibu kota sementara di Soa-Sio, Tidore sebagai langkah politik melemahkan posisi Belanda.

Alasan pemilihan Tidore adalah karena sejak ratusan tahun lalu, Papua serta pulau-pulau sekitarnya merupakan wilayah kekuasaan Kesultanan Tidore.

Sultan Zainal Abidin Syah kemudian ditetapkan sebagai Gubernur sementara Provinsi Perjuangan Irian Barat pada 23 September 1956 melalui SK Presiden RI No. 142/Tahun 1956. Sebagai gubernur, Sultan Zainal Abidin Syah diperbantukan pada Operasi Mandala di Makassar (TRIKORA) Perjuangan Pembebasan Irian Barat.

Setelah perjuangan yang panjang, pada 4 Mei 1962, Sultan Zainal Abidin Syah ditetapkan sebagai Gubernur Tetap Provinsi Irian Barat melalui SK Presiden RI No. 220/Tahun 1961. Dengan demikian, ia menjadi Gubernur Irian Barat pertama (1956–1961) dengan ibu kota di Soa-Sio, Pulau Tidore. Ia memegang jabatan gubernur hingga tahun 1961.

Bagi masyarakat Papua, Sultan Zainal Abidin dikenal sebagai tokoh yang memiliki patriotisme dan nasionalisme tinggi. Pada 1 Juni 1963, Sultan menjalani masa bebas tugas setelah Irian Barat resmi menjadi bagian dari NKRI pada 1 Mei 1963.

Ia kemudian menetap di Ambon hingga wafat pada 4 Juli 1967 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kapahaha Ambon. Pada 11 Maret 1986, pihak keluarga kesultanan Tidore memindahkan kerangka Sultan Zainal Abidin ke Soa Sio Tidore dan disemayamkan di Sonyine Salaka (Pelataran Emas) Kedaton Kie Soa-Sio Kesultanan Tidore.

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan