New Normal Dinilai Bukti Pemerintah "Angkat Tangan" Tangani COVID-19

Jumat, 12 Juni 2020 - Zulfikar Sy

MerahPutih.com - Direktur Political and Public Policy Studies (P3S) Jerry Massie menganggap, penerapan kebijakan kenormalan baru (new normal) bukti pemerintah sudah angkag tangan menangani COVID-19 yang jumlahnya terus bertambah.

Menurut Jerry, new normal berarti masyarakat mesti "menyelamatkan" diri sendiri di tengah ancaman pandemi.

Baca Juga:

Pemberlakuan New Normal Tingkatkan Kemacetan di Jakarta

"Bahasa dasarnya pemerintah sudah hands up (angkat tangan), kita yang tentukan arah dan tujuan. Bahasa new normal beda tipis dengan herd immunity seperti yang dilakukan pemerintah Swedia namun gagal total," ungkap Jerry kepada wartawan di Jakarta, Jumat (12/6).

Ia tidak yakin new normal akan berhasil lantaran melihat kurva COVID-19 yang tak kunjung turun.

"Saat ini negeri ini belum normal, angka kematian belum turun," kata Jerry.

Pria asal Menado ini mengatakan, memang ada negara-negara seperti Korea Selatan, Jerman, Hong Kong, Tiongkok, dan Australia yang mencoba membuka kembali aktivitas mereka dengan penerapan new normal.

PT TWC Borobudur Prambanan & Ratu Boko melakukan simulasi penerapan protokol kesehatan menuju new normal pariwisata. Foto Antara Victorianus Sat Pranyoto
PT TWC Borobudur Prambanan & Ratu Boko melakukan simulasi penerapan protokol kesehatan menuju new normal pariwisata. Foto Antara Victorianus Sat Pranyoto

Ada saja korban jiwa yang berjatuhan seperti di Korsel 79 kasus baru setelah 200 sekolah kembali dibuka. Begitu pula dengan Arab Saudi.

Menurutnya, di Indonesia new normal diterapkan di 102 daerah, PSBB 20 wilayah, dan lockdown ada tujuh daerah di saat awal pandemi corona.

Di saat bersama, keluar kebijakan new normal, sehingga ini tidak linear atau satu garis.

"Saya berharap baik goverment and public policy itu searah, misalkan penerapan kebijakan new normal," ujarnya.

Menurut dia, kondisi itu masih ditambah dengan larangan mudik yang banyak dilanggar masyarakat, sehingga membuat penyebaran COVID-19 kian masif. Daerah yang awalnya green zone (zona hijau) berubah menjadi red zone (zona merah) sampai black zone (zona hitam).

"Itulah akibatnya kalau kebijakan tak sejalan. Bikin kebijakan harus rational policy (kebijakan rasional), bukan irrational policy. Untuk itu, sinergiras antra legislatif dan eksekutif dan lembaga terkait harus berjalan beriringan," tuturnya.

Pengamat kebijakan publik Trubus Rahardiansyah menyebut kebijakaan antara pusat dan daerah tak sinkron.

Baca Juga:

New Normal, Ini Protokol Kesehatan Khusus di Kegiatan Olahraga

Ia mencontohkan pusat ingin new normal diterapkan, sementara Pemprov DKI memilih memperpanjang pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dengan sejumlah kelonggaran atau PSBB Transisi.

"Ini yang membingungkan masyarakat. Akibatnya pas dibuka terjadi penumpukan, protokol kesehatan tidak bisa ditegakkan," ujar Trubus.

Diketahui, pemerintah pusat ingin 4 provinsi, yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, Sumatera Barat dan Gorontalo lebih dahulu menerapkan new normal.

Namun, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memperpanjang PSBB mulai 5 Juni lalu. Ada sejumlah kelonggaran di beberapa sektor mulai dari sektor transportasi, perkantoran, hingga tempat ibadah.

Trubus berharap, pengawasan dan edukasi terhadap masyarakat yang konsisten diperlukan untuk menekan laju pertambahan virus. (Knu)

Baca Juga:

Atasi Kecemasan saat Kembali Bekerja di Masa New Normal dengan 3 Cara Ini

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan