Menjegal Skenario Polri Cengkram KPK Lewat Pansel
Kamis, 29 Agustus 2019 -
MerahPutih.com - Proses seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (Capim KPK) memasuki tahap akhir dengan menyisakan 20 nama. Uniknya, dari nama-nama yang lolos paling banyak berlatar belakang polisi.
Ada empat perwira tinggi Polri yang maju ke tahapan tes wawancara dan uji publik. Mereka Wakil Kepala Bareskrim Irjen Antam Novambar, Dosen Sespim Polri Brigjen Bambang Sri Herwanto, Wakapolda Sumatera Selatan Irjen Firli Bahuri, dan Wakapolda Kalimantan Barat Brigjen Sri Handayani.
Baca Juga:
Kritik Capim Terima Gratifikasi, Jubir KPK Febri Diansyah Dipolisikan
Urutan kedua diduduki wakil dari jaksa aktif ataupun pensiunan sebanyak 3 orang. Sebaliknya, internal KPK hanay menyisakan 2 orang, dengan satu petahana Komisioner saat ini Alexander Marwata. Lainnya berlatar belakang dosen, PNS, auditor hingga mantan Komisioner Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Nantinya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) tentu akan mempertimbangkan hasil tes dan masukan dari Panitia Seleksi (Pansel) ketika mengajukan 10 pendekar antikorupsi ke Komisi III DPR untuk dipilih 5 orang pemimpin KPK 2019-2023. Sayangnya, banyak kalangan kalangan mengkritisi proses seleksi Capim KPK periode 2019-2023 yang didominasi kandidat dari Polri itu.
Jalur Khusus Jagoan Polri

Pengamat Politik Universitas Al-Azhar Indonesia Ujang Komarudin menilai ada indikasi Korps Bhayangkara ingin menguasai lembaga antirasuah. Meski mengakui sah-sah saja Polri ingin menguasai KPK, dia menekankan proses seleksi seharusnya tetap berjalan adil.
Menurut Ujang, ada perlakuan spesial bagi kandidat Capim KPK yang berasal dari Polri. Dia memerinci keistimewaan ini dari hulu. Kepolisian sampai melakukan seleksi internal guna memfilter perwira tinggi supaya bisa menjadi pimpinan KPK.
Baca Juga:
Temui Kapolri, Pansel KPK Undang Anggota Polisi Ikut Seleksi
"Mereka daftar 13 orang. Seandainya nanti nyusut dapatlah sekitar 3 orang, karena jumlah pimpinan KPK 5 orang, kalau masuk 3 sudah menguasai pimpinan KPK. Nah itu grand design besar. Artinya tetap mendominasi," kata Ujang, kepada MerahPutih.com, Rabu (28/8).
Ujang menilai karpet merah ini tidak ada bagi kalangan biasa seperti advokat, hakim dan peserta lainnya tak diberi perlakuan spesial. Harusnya, kata dia, perlakuan spesial itu tak diberikan lantaran komposisi pimpinan KPK tidak ada ketentuan kewajiban batas minimal jatah suatu instansi.
Baca Juga:
Kapolri Bocorkan Ada 8 Anak Buahnya Incar Kursi Pimpinan KPK
Jika benar ada keistimewaan, kata Ujang, ini merupakan lampu merah yang mengancam proses pencarian pimpinan KPK. Dia khawatir lembaga antirasuah ditunggangi kepentingan-kepentingan instansi. Untuk itu, dia meminta pansel bijak menimbang seleksi jangan sampai ada stigma negatif mengenai pemilihan pimpinan KPK.
"Dari awal kita mengkritik banyak konflik kepentingan di situ. Saya rasa kemungkinan besar banyak (kasus) yang ingin diamankan ke depan. Ini yang menjadi persoalan kita," tegas Direktur Eksekutif Indonesia Political Review itu.
Rekam Jejak Capim dari Polri Bermasalah

Koalisi Kawal Capim KPK memberikan sorotan khusus pada jenderal polisi yang ikut seleksi Capim KPK. yakni, Wakabareskrim Irjen Antam Novambar dan Kapolda Sumatera Selatan Irjen Pol Firli.
"Ada catatan yang kemudian harus dipertimbangkan oleh Pansel yaitu rekam jejak. Ada beberapa rekam jejak yang menjadi masalah serius," kata Perwakilan Koalisi Kawal Capim KPK Feri Amsari kepada MerahPutih.com.
Baca Juga:
Kapolri Bilang Mayoritas Polisi di KPK Profesional, Emang Ada yang tidak?
Menurut dia, Antam diduga pernah mengintimidasi eks Direktur Penyidikan KPK, Endang Tarsa. Antam saat itu diduga meminta Endang bersaksi agar meringankan Komisaris Jenderal Budi Gunawan yang dijerat sebagai tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi oleh KPK pada 2015 silam.
Sebaliknya, Kapolda Sumsel Irjen Firli pernah melakukan pertemuan dengan kepala daerah yang sedang diperiksa KPK dalam sebuah kasus dugaan korupsi ketika menjabat Deputi Penindakan KPK. Belum diberikan sanksi, Firli sudah ditarik kembali dari KPK ke Polri.

Padahal, Dewan Pertimbangan Pegawai (DPP) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah memutuskan pertemuan Irjen Firli dengan mantan Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB), Tuan Guru Bajang (TGB) Muhammad Zainul Majdi merupakan pelanggaran etik berat.
“Ketika itu DPP sepakat bahwa ini (Irjen Firly) memenuhi kriteria pelanggaran etik berat,” kata Penasihat KPK Muhammad Tsani Annafari, dalam diskusi di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta, Rabu (28/8).
Namun, KPK belum sempat menjatuhkan sanksi etik kepada jenderal bintang dua itu karena ditarik Polri dan mendapat promosi jabatan Kapolda Sumatera Selatan. "Cuma memang ada 'proses lain' yang membuat itu tidak bisa tuntas,” sindir Tsani.
Baca Juga:
Loloskan Pelanggar Kode Etik, Pansel Capim KPK Perlu Dievaluasi
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang juga membantah pernyataan Firli yang menyebut pimpinan dan DPP KPK memutuskan tidak ada pelanggaran etik. KPK tidak bisa menjatuhkan sanksi karena lulusan Akpol 1990 itu ditarik kembali lembaga pimpin Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian.
“Tadi sudah dijelaskan, hasil dari PI (Pengawas Internal) ada pelanggaran berat. Kata pak Tsani yang dari DPP,” tegas Komisioner KPK itu.
Tidak Patuh LHKPN

KPK juga memiliki catatan rekam jejak negatif di antara 20 nama Capim. Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengungkapkan ada temuan ketidakpatuhan dalam pelaporan LHKPN, dugaan penerimaan gratifikasi, dugaan perbuatan lain yang pernah menghambat kerja KPK, hingga dugaan pelanggaran etik saat bekerja di KPK.
Meski begitu, Febri enggan membuka siapa saja Capim KPK yang memiliki rekam jejak negatif. Dia hanya mau menjelaskan perihal kepatuhan terhadap pelaporan harta kekayaan.
Baca Juga:
Berdasarkan data KPK ada kandidat dari Polri yang belum menyerahkan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN). Ketika akhirnya melapor, ada wakil Polri yang telat melewati batas waktu periodik LHKPN dalam rentang 1 Januari-31 Maret 2019.
"Perlu dipahami, pelaporan LHKPN oleh penyelenggara negara merupakan kewajiban hukum yang diberikan peraturan perundang-undangan sebagai bagian membentuk pemerintahan yang bersih dari KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme)," kata Febri saat dikonfirmasi.

Terkait fakta itu, Feri kembali mengingatkan pucuk pemimpin KPK wajib diisi orang-orang yang bersih. Koalisi Kawal Capim KPK menyayangkan ada calon dari Polri yang sampai saat ini belum menyerahkan LHKPN.
"Masa institusi KPK yang harusnya diisi orang 'bersih' lalu ada orang yang hartanya tidak bisa dibaca," kritik Feri.
"Orang-orang semacam itu yang bermasalah yang mestinya sudah sedari awal dicoret oleh pansel KPK," imbuh Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas itu.
Kedekatan Pansel Capim KPK dengan Polisi

Koalisi Kawal Capim KPK juga menyebut adanya konflik kepentingan Ketua Pansel Yenti Garnasih, serta dua anggotanya Indrianto Seno Adji dan Hendardi dengan institusi kepolisian. Koalisi menduga dari puluhan nama-nama yang lolos itu pada akhirnya akan dipilih yang berlatar belakang kepolisian.
"Mereka punya relasi dengan kepolisian artinya ada konflik kepentingan," kata Feri.
Baca Juga:
Inilah Sembilan Orang Pansel KPK yang Ditetapkan Presiden Jokowi
Yenti disebut menjadi tenaga ahli Kepala Lembaga Pendidikan Kepolisian (Lemdikpol) dan Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri. Hendardi dan Indrianto, keduanya pernah terlibat dalam tim teknis atau masuk dalam tim penasihat Kapolri.
"Dalam Undang-Undang 28 Tahun 1999, pejabat atau orang yang akan menentukan tindakan atau keputusan tata usaha negara itu dilarang memiliki relasi kepentingan dengan orang yang akan diproses," tutur Feri .
Oleh sebab itu, kata Feri, Pansel Capim KPK menjadi bias dengan cerita kepentingan yang ada di dalamnya. Bagaimana mungkin, mencari pimpinan KPK yang independen dan tidak bermasalah jika Panselnya justru bermasalah. "Itu sebabnya pansel jadi mudah menerima calon-calon yang juga pelanggar etik," sindir dia.
Ketua Pansel Yenti sudah membantah tudingan. Dia mengklaim hanya mengajar di program pendidikan lembaga Polri itu. Publik mengenalnya sebagai ahli hukum, khususnya Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Bahkan, tercatat sebagai doktor TPPU pertama di Indonesia.

Sebaliknya, Hendardi mengakui memang masih menjadi penasihat ahli kapolri sejak masa kepemimpinan Jenderal Badrodin Haiti sampai sekarang. Namun, dia tak mau ambil pusing merespon tudingan.
Hendardi juga sempat bergabung sebagai anggota pakar tim gabungan kasus penyiraman air keras penyidik KPK Novel Baswedan bentukan Tito sejak awal 2019. Kinerja tim gabungan ini juga sempat dikritik karena dianggap tak independen. Sementara Indriyanto hingga saat ini belum memberikan klarifikasi. (Pon)
Baca Juga: