Menimbang Semangat Anak Muda dalam Peringatan 20 Tahun Reformasi

Selasa, 08 Mei 2018 - Eddy Flo

MerahPutih.Com - Dua puluh tahun lalu, tepatnya tahun 1998 pemerintahan orde baru berhasil ditumbangkan kelompok anak muda, Mahasiswa yang bergabung dengan kekuatan rakyat.

Setiap kali menggelar aksi demonstrasi di jalan, mereka menyerukan dan menuntut agar Soeharto segera lengser. Reaksi keras pun ditunjukan pihak penguasa dengan mengerahkan kekuatan militer untuk membendung aksi demonstrasi yang kian membesar.

Tak ayal, bentrokan acap kali terjadi manakala mahasiswa dan pemuda turun ke jalan, tragisnya, bentrokan antara aparat dan mahasiswa itu menimbulkan korban meninggal dunia.

Dan dari sekian banyak aksi mahasiswa yang berakhir tragis, Publik mengenal dengan tragedi Trisaksi dan Tragedi Semanggi I/II.

Ketua DPR Bambang Soesatyo
Ketua DPR Bambang Soesatyo memberikan sambutan dalam kegiatan peringatan 20 Tahun Reformasi di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (7/5). (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay)

Pasca lengsernya Soeharto, alam kebebasan berpendapat mulai terbuka. Di era yang lebih akrab dikenal Reformasi ini publik mulai sadar arti kebebasan berpendapat dan menyalurkan kreativitas.

20 Tahun Reformasi, Pemuda Harus Kreatif

Sebagai anak kandung dari proses Reformasi, pemuda terkini atau lazim disebut kaum milenial dituntut untuk mengisinya dengan penuh kreativitas.

Di era keterbukaan seperti saat ini, anak muda harus betul-betul memanfaatkan waktu agar tidak tergiling oleh zaman. Kaum milenial harus berani keluar dari zona nyaman demi mewujudkan cita-cita bersama.

Hal itulah yang tunjukan dua pemuda yang memiliki latar belakang berbeda namun memiliki cita-cita yang sama, yaitu meningkatkan kualitas pendidikan nasional.

Rosa Dahlia, Penggiat Pendidikan di Pedalaman Papua mengaku, memutuskan untuk mengabdi sebagai guru di pedalaman Papua karena keprihatinannya terhadap pendidikan anak-anak pedalaman.

Setelah lulus kuliah dari salah satu Universitas di Yogyakarta pada 2013 lalu, dia memilih menjadi guru SD di Lanny Jaya, Papua.

Rosa aktivis 98
Aktivis 98 Rosa Dahlia berbagi pengalaman dalam diskusi peringatan 20 Tahun Reformasi (MP/Fadhli)

"Bukan tidak ada tawaran kerja di Kota, ini pilihan saya untuk mengabdikan diri," kata Rosa saat mengisi diskusi 20 tahun reformasi, di Komplek Parlemen, Jakarta, Selasa (8/5).

Di Papua, dia sempat mengajar di sejumlah sekolah dasar yang berbeda. Dari sana, dia mulai mengenal kebudayaan setempat yang sebelumnya tidak pernah tahu.

"Pertama ke Papua saya pelajari dulu adat kebiasaan dan bahasa mereka, setelah itu memutuskan mengajar anak-anak di sana," ucapnya.

Dari pengalamannya selama hampir lima tahun itu, Rosa menuturkan banyak hal yang didapatkan selama di Papua, suka maupun duka harus dijalani dengan tegar.

"Selama di sana saya hitung sudah 12 kali kena malaria, perang suku, hingga desingan peluru saya dengar, itu dukanya, sukanya ada kepuasan tersendiri bagi saya dapat mengenal anak-anak Papua, keunikannya hingga budaya mereka," kata dara kelahiran Magelang itu.

Sama halnya dengan Ketua Yayasan Sekolah Multikultural Pangandaran, Jawa Barat, Ai Hidayat. Ai memutuskan hijrah ke daerahnya Pangandaran, Jawa Barat untuk membenahi pendidikan di sana.

Menurut dia, perlu ada pola atau sistem pendidikan yang memperkenalkan keragaman bangsa Indonesia. Tujuannya agar kekhasan masing-masing daerah dapat disatukan dalam wadah pendidikan yang terbuka.

"Dari sekolah ini, kita ajarkan anak-anak tentang kritisisme, pengenalan budaya masing-masing agar saling mengenal," terangnya.

Diskusi 20 Tahun Reformasi
Dikusi 20 Tahun Reformasi di Jakarta (MP/Fadhli)

Diakuinya sekolah yang berdiri sejak 2016 ini bermula saat dia dan 25 orang lainnya mengumpulkan anak-anak kurang mampu dari seluruh daerah tanah air.

"Kita ajak komunitas anak jalanan untuk membangun sekolah tersebut," kata Ai.

Anak Muda Harus Berani Out Of The Box

Rosa Dahlia mengaku, awal memutuskan untuk berangkat ke Papua tanpa seizin orang tua. Namun, dengan kekuatan niat yang murni dia berhasil membuat orang tua bangga.

"Awalnya ayah saya tidak mengizinkan, ibu hanya bisa nangis, itu tantangan terberat saya," kata Rosa.

Namun seiring perjalanan waktu, kata dia, orang tua mulai memaklumi dan bangga karena kerasnya pilihan itu.

"Dua tahun saya di Papua, saya pulang kampung orang tua tak mau ngobrol sama saya, pelan-pelan saya yakinkan," katanya.

Hingga, akhirnya Tempo menjadikan Rosa sebagai salah satu ikon.

Pameran lukisan 20 Tahun Reformasi
Foto-foto yang ditampilkan dalam peringatan 20 Tahun Reformasi (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay)

"Jadi baliho saya ada di mana-mana waktu itu, orang tua saya lihat, baru mereka mulai sadar dengan pilihan saya," kata Rosa berkelakar.

"Ketika sudah ambil pilihan kita buktikan, lambat-laun juga orang tua kita terima," pungkas dia.

Sama halnya dengan Rosa. Ai Hidayat menuturkan, awal mula ingin berkiprah di masyarakat dia tidak diterima.

"Tamat kuliah 2011 saya pulang kampung, gak didengerin," kata Ai.

Pelan tapi pasti, dia mulai merangkul anak-anak jalanan untuk membuat sekolah "sekolah tanpa tembok" dari sana puluhan siswa terkumpul, rata-rata berumur di bawah 27 tahun.

"Pada tahun 2012 kita bikin sekolah di bekas bangunan sekolah hampir bangkrut."

Terus berfikir, hingga pada 2016 lalu, dia bersama kawan-kawannya membuka kelas multikultural, yang merangkul siswa dari berbagai daerah tanah air.

"Intinya, pemuda saat ini tidak boleh sama dengan orang tua kita dulu, termasuk dalam mengelola pendidikan, bagaimana guru kita yang berumur 50 tahun bisa memahami diri kita, begitu juga sebaliknya, pemuda hari ini harus keluar dari kebiasaan dulu," pungkas Alumni Paramadina itu.(Fdi)

Baca berita menarik lainnya dalam artikel: Prabowo Wajibkan Semua Kader Gerindra Nonton Film 212 The Power of Love

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan