MEInang! Usaha Bersemi kala Pandemi
Rabu, 13 Mei 2020 -
TAK semua hal berhenti kala pandemi corona merebak. Begitu juga dengan roda bisnis. Banyak pengusaha yang putar otak, mencari cara agar bisnis mereka bisa menyintas di masa krisis ini. Direktur utama Smesco, Leonard Theosabrata, mengatakan Corona memang membuat aktivitas wirausaha tersendat.
Lewat video berjudul Coping With Your Small Business During COVID-19, ia memberikan beberapa tips agar bisnis, terutama UMKM, tetap berjalan lancar di tengah wabah virus Corona. Salah satu yang ia sarankan ialah peninjauan ulang produk yang ditawarkan. Dalam hal ini, kejelian dan kreativitas seorang pengusaha diuji.
BACA JUGA: Kisah Rahman Simuk, Tukang Cukur Panggilan yang Survive di Tengah Pandemi COVID-19
Dari Handmade Craft ke Masker

Pengusaha bisa saja punya produk unggulan sebelum masa pandemi. Namun, di tengah krisis, seorang wirausaha harus jeli melihat bahwa produk unggulannya mungkin kurang dibutuhkan saat itu. Oleh karena itu, pengusaha yang gesit akan mencoba memeinangkan usaha dengan memodifikasi produk. Hal itulah yang dilakukan pengusaha handmade craft asal Bali, Purnama Dewi.
Di bawah brand DeMoon, Dewi yang tadinya mengkriyakan clutch, wedges, sepatu, tas, kain ecoprint, shibori, suminagashi, decoupage, painting mix media, fabric painting, dan homemade soap, kini beralih membuat masker kain. "Sebelum corona merebak di Indonesia, aku sudah berencana membuat set bucket hat dan masker untuk anak-anak. Tapi belum kesampaian. Nah, ketika corona mulai ramai dan masker medis langka, aku bikin deh masker kain buat anak dan keluarga," kata Dewi saat berbincang dengan Merahputih.com via pesan Whatsapp.
Setelah produk awal jadi, sang suami memfoto masker bikinannya lalu mengunggahnya ke media sosial. Lengkap dengan iklan dan tawaran untuk membuka order. "Ini sih kayaknya trik suami biar koleksi kainku habis," candanya.

Dari iklan itu, order masker berdatangan. Dewi lalu berkreasi dengan kain koleksinya. Saat membuka order pertama, ia langsung menerima 300 masker. Dalam dua minggu, sambil tetap mengurus tiga anak, ia berjuang menyelesaikan order. Masker dibuat dengan tiga lapisan. Untuk lapisan pertama, ia menggunakan kain linen atau katun. Selanjutnya diberi pelon atau pelapis tas seperti spunbond. Terakhihr, ia menggunakan katun lagi. Penggunaan tiga lapis bahan untuk masker dilakukan untuk memastikan masker kuat dan tidak tembus. "Jadi biar aman, aku melakukan tes tiup dulu. Ternyata enggak tembus," ujarnya.
Semua proses pembuatan masker dilakukan dengan tangan. Hal itu membedakan masker buatan tangan ini dengan produksi massal. Selain itu, masker buatan tangan ini punya motif cantik dan lucu-lucu. Meski produksi masker sedikit lebih lambat, Dewi mengaku hal itu demi tetap menjaga kualitas. "Aku sih fokus ke kualitas maskernya. Di luar dugaan, responsnya bagus banget. Masker ready stock yang aku punya juga sudah habis terjual. Malah banyak yang order ulang sampai masuk daftar tunggu," ujarnya.
Setelah membereskan order kelompok pertama, kini ia mengerjakan kelompok order kedua. Ia mengaku makin semangat mengerjakan dan menjalankan bisnisnya ini. Padahal, di awal merintis, Dewi menjadikan crafting hanya sebagai penawar kejenuhan di tengah aktivitas sebagai ibu rumah tangga. "Craft ini masih kubatasi sebagai hobi. Anak-anak dan keluarga tetap nomor satu," ujarnya.

Bagi Dewi, kegiatan crafting ialah penolong di kala ia mengalami depresi pascamelahirkan. Perkenalan dengan dunia kriya tangan berawal di 2014. Ketika itu, ia sudah setahun berjuang melawan depresi pascamelahirkan anak kedua. "Saat pindah dari Palembang ke Jakarta di 2014, aku menemukan kursus crafting membuat clutch. Semua berawal dari sana," kisahnya.
Dengan kebisaan menjahit dan kreativitas tak terbatas, Dewi mulai membangun DeMoon. Dari bisnis itu, ia mengaku bisa menambah penghasilan untuk kebutuhan harian. "Ini hobi yang menghasilkan. Apalagi di tengah pandemi begini. Biaya makan dan rumah malah nambah," ujarnya.
BACA JUGA: Parents, ini Aturan Pakai Masker pada Anak
Racikan Jamu Antimalas

Selain kreativitas tanpa batas, seorang pengusaha andal wajib memiliki daya tahan dan keuletan. Rajin dan enggak malas ialah kunci. Tidak mengherankan jika banyak pengusaha justru memulai dari keinginan untuk terus bergerak. Seperti halnya Retno Hemawati yang menghadirkan Sejiwa.
Sebagai seorang jurnalis, Retno sebenarnya sudah cukup dibuat sibuk. Namun, ia merasa masih ada waktu luang yang bisa dimanfaatkan biar produktif. "Aku nih enggak suka nongkrong unfaedah. Penginnya bergerak terus, produktif terus," ujarnya menjelaskan awal mula memulai usaha kuliner miliknya.
Retno memulai Sejiwa pada 2016. Di masa awal memulai, ia menawarkan masakan tradisional, dari garang asem, arem-arem, hingga setup buah. Produksi dilakukan dalam skala rumahan di kawasan Cireundeu, Tangerang Selatan. Ia meracik sendiri produk yang dijual. "ini sebenarnya bisa diketawain ya, karena seperti manajemen tukang bakso, ya belanja sendiri, ngolah sendiri, memasarkan sendiri. Tapi percayalah itu nikmat betul rasanya. Kan artinya pendapatan juga buat sendiri," ujarnya.

Meski memulai dengan produk makanan tradisional, kini Sejiwa malah lebih dikenal lewat produk jamu. Hal itu, menurut Retno, didasari pertimbangan bahwa menjual makanan butuh investasi waktu yang terlampau lama. Jadilah setahun belakangan, ia fokus membesarkan produk jamu Sejiwa.
Dengan menggunakan manajemen ala tukang bakso, Retno mengatur agar produksi jamu bisa dilakukan setelah tugas kantor selesai. Ia mulai menjalin langganan di pasar untuk suplai bahan baku. Dengan begitu, bahkan di masa pandemi dan pembatasan saat ini, ia tak kesulitan mendapatkan bahan dengan kualitas baik. "Bikin jamu ini kan sudah jauh sebelum pandemi menyerang. Aku sudah punya langganan. Tinggal kasi daftar kebutuhan bahan. Biasanya untuk stok 3-4 hari. Nanti bahan disiapkan, lalu aku ambil. Aku selalu dapat barang bagus, dipilihkan yang baik-baik sama penjualnya," ujarnya.
Sejiwa kini menawarkan 10 varian minuman tradisional, seperti jamu kunyit asam, gula asam, sambiloto, bunga telang nipis, jahe wangi, rosella, jus kacang hijau, jeruk nipis + madu, mpon-mpon lengkap, dan kejem (kencur jahe madu + jeruk nipis). Semua produk itu dijual dalam botol 500 ml. Per botol dihargai Rp20 ribu-Rp25 ribu.

Awalnya, produk minuman tradisional Sejiwa hanya dijual di lingkungan kantor Retno di kawasan Kedoya. Kemudian, berkat promosi di media sosial Instagram @sejiwacuisine dan promosi mulut ke mulut, kini produk Sejiwa bahkan merambah hingga Cibubur dan Bekasi. "Selebihnya itu tidak bisa dilayani karena jamu ini tidak pakai pengawet sama sekali sehingga mudah basi kalau kelamaan di luar. Jadi enggak bisa pakai ekspedisi hingga ke luar kota," jelasnya.
Meskipun belum bisa menjangkau pasar luar kota, bisnis jamu Sejiwa malah bersemi di kala pandemi ini. Menurut Retno, penjualan memang berkembang jauh, terlebih sejak Jokowi meirilis jamu mpon-mpon. Dalam sehari, ia bisa menjual paling sedikit 50 botol jamu. "Banyak yang cari itu. Jadi sejak pandemi menu barunya ialah mpon-mpon. Mpon-mpon buatan Sejiwa sangat light karena sebagian besar yang beli anak muda yang aku yakin enggak tahan aroma temulawak yang sangat menyengat," jelasnya.
Selain mpon-mpon, menu baru Sejiwa, yakni kencur jahe madu + jeruk nipis (kejem) juga banyak dicari. Pada prinsipnya, menurutnya, mpon-mpon dan kejem itu bukan untuk anticorona, tapi bagus untuk meningkatkan stamina. "Kalau staminanya bagus kan kita jadi tahan menghadapi sakit, sakit apa saja, enggak hanya corona," katanya.
Retno memang tak sekadar menjual jamu. Ia juga kerap menjawab pertanyaan pelanggan seputar jamu. Namun, ia mengakui banyak juga konsumen yang sudah tahu dan paham manfaat jamu sehingga ia tak perlu lagi banyak menjelaskan. Konsumen pun sudah punya produk favorit sendiri. Selain itu, masyarakat kini mulai paham bahwa jamu menyehatkan. Hal itulah yang membuat omzet jamu Sejiwa meningkat di kala pandemi ini. "Biarpun gitu, aku sih maunya tak usah lah ada pandemi ini. Jualan jamu ya tetap laris. Orang sehat semua," katanya.
BACA JUGA: Nyicip Jamu Yuk, Biar Kayak Presiden Jokowi
Rencana Masa Depan

Dewi dan Retno ialah dua pebisnis tangguh yang berusaha mempertahankan dan mengembangkan bisnis di kala pandemi. Di saat ada berbagai pembatasan, bisnis memang butuh penyesuaian. Dewi mengaku ia harus membatalkan sejumlah kelas crafting yang ia rencanakan karena pandemi. "Ya, ada beberapa kelas yang sudah direncanakan dan ada pesertanya terpaksa batal," ujar Dewi.
Sementara itu, Retno harus sigap membagi waktu antara bekerja di rumah dan produksi jamu. Termasuk bersiasat menyetok bahan baku agar tak perlu belanja ke pasar setiap hari. "Untungnya kemajuan teknologi memudahkan kita. Aku bisa belanja bahan lewat marketplace daring. Ini juga semacam kerja sama yang win-win dan saling mendukung sesama UMKM," kata Retno.
Baik Dewi maupun Retno sudah menyiapkan banyak rencana untuk lebih membesarkan usaha mereka setelah pandemi berlalu. "Kelas crafting bakal aku adain lagi. Aku juga berencana ikut serta di ajang Inacraft tahun ini," kata Dewi.
Bagi Retno, pandemi membuatnya yakin bahwa bisnis Sejiwa rintisannya potensial. Awalnya, ia mengaku usaha kuliner itu hanya sebagai sekoci. "Kita enggak akan pernah tahu kapan tempat di mana kita bekerja akan krisis atau akan melaju," ujarnya.
Namun, baginya ini bukan pilihan antara kerja kantoran atau menjalankan bisnis saja, melainkan keputusan untuk memilih menghasilkan sesuatu, menjalani yang disuka dan menghasilkan uang sebagai konsekuensinya. Keputusan yang dipilih pun kini berbuah manis. Sejiwa kini mulai dikenal. Hal itu diakui Retno tak lepas dari dukungan orang baik di sekitarnya. Ia menyebut sejumlah selebgram sangat menolong dirinya, seperti @misshotrodqueen @irrasistible, dan penyanyi @radhini_. "Aku bersyukur dikelilingi orang baik. Sejiwa sekarang jadi besar, income dari situ juga menjajikan," ujarnya.
Tak berhenti di sana, Retno sudah bersiap untuk membawa bisnis Sejiwa lebih jauh Ia menyebut target di masa depan untuk mebawa Sejiwa ke model B to B. Nantinya, ia ingin agar menu jamunya ada di restoran atau rumah makan. Ia menyebut sudah ada peluang kerja sama dengan satu tempat makan dengan semangat yang sama dengan Sejiwa. "Ini sedang dirintis. Tradisional, tapi juga kekinian. Yang lebih penting, peminum jamu Sejiwa semakin sehat. Orang boleh minum boba atau soda, tapi jamu jadi kebutuhan rutin," ucapnya.
Tidak dimungkiri pandemi mengubah gaya hidup kita. Pakai masker dan minum jamu kini jadi new normal dalam gaya hidup. 'The new normal' ini bukanlah sesuatu yang perlu ditakuti, malah bisa dijadikan peluang. Hal itulah yang dilihat Dewi dan Retno. Meski pembatasan diberlakukan, kreativitas mereka tetap berkembang dan bertumbuh. Mereka menolak untuk diam dan mengeluh di kala pandemi. Justru bergerak dan jadi pe-Meinang.(dwi)
BACA JUGA: Kisah Adit Insomnia Siaran Radio dari Rumah saat Pandemi COVID-19