Media Memperburuk Citra Anies Lewat Kata 'Pribumi'

Rabu, 18 Oktober 2017 - Andika Pratama

MerahPutih.com - Kata 'Pribumi' yang diucapkan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan masih terus bergulir. Banyak kalangan menyampaikan pendapatnya, baik yang mempertanyakan maksud Anies mengucapkan kata itu, maupun yang menyatakan bahwa kata tersebut tidak bermakna apa-apa yang bisa berdampak pada memanasnya situasi politik di ibu kota Negara Republik Indonesia.

Peneliti Bidang Penyuluhan dan Komunikasi Pembangunan Universitas Gadjah Mada (UGM), Samuel H. Kallawaly menyoroti perkembangan kata 'pribumi' itu hingga menimbulkan perbincangan hangat di masyarakat Indonesia, tidak terlepas dari peran serta media massa dalam melakukan 'framing' kepada masyarakat. Akibatnya, masyarakat sulit melihat sisi positif dari seorang Anies.

"Media massa berperan besar dalam memperburuk kata ‘pribumi’, seperti yang terjadi saat ini," kata Samuel dalam siaran persnya yang diterima di Jakarta, Rabu (18/10).

Sebenarnya, kata dia, banyak meme bermunculan yang menunjukkan bahwa selain Anies, masih banyak tokoh lain yang pernah berbicara tentang pribumi, namun jauh dari hiruk pikuk kontroversi.

"Sebut saja Megawati, Susi Pudjiastuti, bahkan nama Jusuf Kalla pun disebut pernah mengungkapkan kalimat tersebut. Namun tidak menjadi hiruk pikuk yang kontroversi," katanya.

Menarik memang, kata dia, sebab belakangan kalimat ini kembali dipersoalkan karena disebutkan oleh Anies Baswedan dalam pidato politiknya yang pertama.

“Secara sederhana muncul satu pertanyaan, mengapa kata ini menjadi 'hot' ketika diungkapkan oleh Anies Baswedan dan bukan yang lain?” ungkap dia.

Politik–Media

Samuel menuturkan, politik dan media merupakan dua sisi yang tidak bisa terlepas satu sama lain. Kepemilikan media oleh politisi menjadikan media sebagai sarana dalam memuluskan rencana. Sebab citra dibangun melalui framming.

"Media tidak saja mengatakan apa yang seharusnya kita pikirkan, tetapi media juga memberitahukan bagaimana memikirkan objek tersebut, demikian ungkap McCombs, dalam merespon pengaruh media dalam membangun citra," jelas Samuel lagi.

Sejak Pilkada DKI Jakarta bergulir, media punya cara tersendiri dalam menggambarkan sosok Anies. Dari beberapa media besar, terutama Metro TV, nama Anies Baswedan cenderung dikaitkan dengan aksi demo berjilid-jilid, FPI, Habib Riziq, serta berbagai aksi kampanye bernuansa SARA lainnya.

Menurut dia, sedikit rasanya porsi yang diberikan untuk menggambarkan sisi positif dari Anies Baswedan. Atas framming yang demikian, opini masyarakat pun terbentuk, di mana ada penilaian yang negatif tentangnya. Kedekatannya dengan beberapa ormas yang dianggap intoleran, antikafir dan antiasing, terus diangkat oleh media, alhasil membuat citra Anies Baswedan semakin buruk.

"Dengan citra yang demikian, sudah pasti apapun yang dilakukan oleh Anies Baswedan akan terus diamati. Jika ada titik lemah, maka cela itu akan 'disikat'. Kesempatan emas pun tiba, ketika Anies Baswedan mengucapkan kata ’Pribumi. Kata yang tak ada dampak apa-apa jika disebutkan oleh tokoh lain, namun menjadi 'bom atom' karena disebutkan oleh Anies Baswedan," papar Samuel lagi.

Harus berhati-hati

Samuel menambahkan, atas insiden itu tak salah jika banyak kalangan menyerukan agar Anies berberhati-hati dalam bertutur kata. Jangan sampai pengalaman Ahok terulang lagi olehnya, kata dia.

Meski ucapan Anies merupakan bagian dari manuver politik, dimana sengaja memunculkan cerita kolonialisme dan isu pribumi yang multi tafsir, namun Anies harus tetap waspada, karena bisa saja kontraproduktif, bahkan menjadi bumerang.

”Sebagai Gubernur yang baru saja dilantik, Anies harus ingat bahwa merebut jabatan itu tak semudah mempertahankannya," pungkasnya. (*)

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan