LBH Jakarta Kecam Tindakan Represif UNAS terhadap Mahasiswa

Kamis, 16 Juli 2020 - Zulfikar Sy

MerahPutih.com - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mengecam Universitas Nasional yang kembali bertindak represif pada mahasiswanya saat menggelar aksi menuntut keringanan biaya kuliah di depan kampus pada Selasa (14/7) lalu.

Pengacara LBH Jakarta Charlie Albajili mengatakan, mahasiswa yang tergabung dalam aliansi UNAS Gawat Darurat (UGD) mengalami tindakan kekerasan yang dilakukan personel keamanan kampus secara beramai-ramai.

Baca Juga:

Puluhan Mahasiswa Kedokteran UNS Positif COVID-19, Ganjar: Terpapar Usai Pesta Wisuda

"Setelah sebelumnya pihak UNAS menjatuhkan sanksi drop out dan skorsing terhadap aliansi serta berupaya mempidanakan mahasiswa, kali ini mahasiswa dalam aliansi UGD mengalami tindakan kekerasan," kata Charlie dalam keterangan tertulis, Rabu (15/7) malam.

Aliansi UGD mulanya menggelar aksi menuntut pencabutan sanksi drop out dan skorsing yang diberikan kampus kepada sejumlah mahasiswa UNAS. Dalam aksi itu, mereka juga menyampaikan tuntutan transparansi keuangan kampus dan pemotongan biaya kuliah yang menjadi tuntutan awal.

"Aksi tersebut hanya berlangsung selama 30 menit karena secara tiba-tiba pihak keamanan kampus melakukan kekerasan terhadap massa aksi mahasiswa," ujar Charlie.

Dari dokumentasi video mahasiswa, kata Charlie, terlihat pihak keamanan kampus yang berjumlah cukup besar melakukan pengeroyokan terhadap peserta aksi. Atas tindakan tersebut, LBH Jakarta mendampingi mahasiswa melakukan pelaporan ke Polda Metro Jaya atas dugaan tindak pidana pengeroyokan dalam pasal 170 KUHP.

Charlie menjelaskan, tindak kekerasan itu bermula saat salah seorang perwakilan aliansi bernegosiasi dengan pihak keamanan kampus untuk meminta bukti bahwa surat tuntutan yang mereka berikan kepada pihak keamanan sudah diterima oleh pihak rektorat. Pasalnya, aliansi tidak dapat memberikan surat tuntutan tersebut langsung kepada rektorat.

"Menurut kesaksian mahasiswa, tindakan kekerasan tersebut dipicu provokasi oleh salah satu pihak keamanan yang merasa tersinggung pada saat mahasiswa meminta kejelasan mengenai surat tuntutan mereka," ungkapnya.

Ilustrasi. (Foto: MP/unas.ac.id)
Ilustrasi. (Foto: MP/unas.ac.id)

LBH Jakarta menganggap tindakan kekerasan tersebut menambah panjang catatan buruk UNAS dalam mengelola kehidupan kampus yang demokratis dan menjunjung nilai HAM sebagaimana dimandatkan pasal 4 ayat 1 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional.

Menurut Charlie, tuntutan para mahasiswa UNAS untuk meminta transparansi keuangan kampus dan pemotongan biaya kuliah sebagai dampak pandemi COVID-19 memiliki dasar konstitusional yang kuat.

"Pasal 28 C dan E UUD 1945 dan pasal 13 UU No 11 Tahun 2005 sesungguhnya telah menjamin bahwa pendidikan tinggi secara progresif harus dapat semakin terjangkau," jelas dia.

Selain itu, kata Charlie, transparansi pengelolaan dana pendidikan sebagaimana tuntutan mahasiswa juga sudah selayaknya dilakukan UNAS jika merujuk pada Pasal 48 UU Sistem Pendidikan Nasional.

"UNAS seharusnya wajib menjunjung tinggi prinsip transparansi dan dialogis ketimbang cara-cara represif, apalagi aksi mahasiswa UGD hingga saat ini dilakukan tanpa kekerasan," ujarnya.

Baca Juga:

COVID-19 Solo Melonjak, Kasus Tambahan Terbanyak dari Klaster Mahasiswa UNS

Alih-alih melakulan dialog, lanjut Charlie, sikap UNAS selama ini cenderung melanggar prinsip kebebasan berpendapat, menciderai nilai kebebasan akademik, dan melanggar hak atas pendidikan mahasiswa dengan melakukan pemecatan secara inkonstitusional.

"LBH Jakarta menuntut Rektor UNAS mencabut sanksi drop out dan skorsing terhadap mahasiswanya, menghentikan cara-cara kekerasan dan segera membuka ruang dialog dengan mahasiswa yang menuntut haknya atas transparansi dan akuntabilitas kampus," tegas dia.

LBH Jakarta juga menuntut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim untuk segera memeriksa Rektor UNAS El Amry Bermawi, atas pelanggaran prinsip-prinsip dasar pendidikan yang demokratis dan tanpa kekerasan.

"Rektor UNAS adalah perpanjangan tangan Menteri dalam pelaksanaan tugas pendidikan tinggi di universitas swasta. Dengan diam saja artinya Menteri setuju dengan tindakan-tindakan antidemokrasi ini," tutup Cahrlie. (Pon)

Baca Juga:

Kepolisian Jaga Ketat Demo Mahasiswa Papua Depan Kemendagri

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan