Kasus Korupsi Gubernur Riau: Abdul Wahid Minta 'Jatah Preman' sampai Rp 7 Miliar
Rabu, 05 November 2025 -
MerahPutih.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Gubernur Riau Abdul Wahid sebagai tersangka kasus dugaan korupsi terkait permintaan fee atau jatah preman dari penambahan anggaran Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman, dan Pertanahan (PUPR-PKPP) Provinsi Riau tahun anggaran 2025.
Wakil Ketua KPK Johanis Tanak menjelaskan, praktik korupsi tersebut bermula pada Mei 2025, ketika Sekretaris Dinas PUPR-PKPP Riau, Ferry Yunanda, bertemu dengan enam Kepala UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I–VI di salah satu kafe di Pekanbaru.
Dalam pertemuan itu, mereka membahas kesanggupan memberikan fee kepada Abdul Wahid atas penambahan anggaran pembangunan jalan dan jembatan.
“Fee tersebut atas penambahan anggaran 2025 yang dialokasikan pada UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I–VI Dinas PUPR-PKPP,” ujar Tanak dalam konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (5/11).
Baca juga:
OTT Gubernur Riau Abdul Wahid Pemerasan Bukan Suap, Modusnya 'Duit Jatah Preman'
Tanak menyebutkan, penambahan anggaran tersebut cukup signifikan, meningkat 147 persen, dari semula Rp71,6 miliar menjadi Rp 177,4 miliar. Setelah pertemuan pertama, Ferry kemudian menemui Kepala Dinas PUPR-PKPP Riau, Muhammad Arief Setiawan, untuk menyampaikan rencana pemberian fee sebesar 2,5 persen dari nilai proyek.
Namun, Arief yang disebut mewakili Abdul Wahid menolak nominal tersebut dan meminta kenaikan menjadi 5 persen, atau sekitar Rp 7 miliar.
“MAS (Arief) yang merepresentasikan AW (Abdul Wahid) meminta fee sebesar 5 persen (Rp 7 miliar),” kata Tanak.
Baca juga:
Tanak menambahkan, agar permintaan itu dipenuhi, Abdul Wahid melalui Arief juga mengancam akan mencopot atau memutasi pejabat Dinas PUPR-PKPP yang menolak memberikan setoran.
“Di kalangan Dinas PUPR-PKPP Riau, permintaan ini dikenal dengan istilah jatah preman,” ujarnya.
Setelah ancaman itu, Ferry bersama para Kepala UPT kembali melakukan pertemuan untuk menyepakati besaran fee sebesar 5 persen atau Rp7 miliar. Hasil kesepakatan tersebut kemudian dilaporkan kepada Arief dengan menggunakan bahasa sandi '7 batang'.
“Laporan kepada MAS (Arief) dilakukan menggunakan kode ‘7 batang’, yang berarti Rp 7 miliar,” ungkap Tanak. (Pon)