Hostile Architecture, Alasan Kenapa Bangku di Ruang Publik Tidak Nyaman

Rabu, 06 Juli 2022 - Hendaru Tri Hanggoro

FARAYA Maulida menahan sakit di kakinya. Dia baru saja terjatuh di peron stasiun kereta komuter Jabotabek. Inginnya rebahan sebentar. Namun, tak ada bangku yang bisa dijadikan rebahan.

"Lalu aku terseok-seok bangun nyari bangku buat lihat kakiku kenapa-kenapa dan buat istirahat. Itu gak ada bangku, dong, sepanjang peron," kata Faraya, karyawati swasta di Jakarta, kepada merahputih.com.

Bangku-bangku yang ada lebih mirip tiang jemuran. Hanya cukup untuk sedikit sandaran bokong. Ada bangku prioritas, tapi di sesela bagian papan duduknya ada kayu penyekat.

Baca juga:

Arsitek Puji Karya dan Makna Bangunan Era Bung Karno

Desain bangku semacam itu sering disebut hostile design atau hostile architecture. Kamu akan mudah menemukannya di ruang publik. Namun, hostile architecture bukan semata terdapat pada kursi.

Menurut Cara Chellew dari York University, hostile architecture berarti sebuah strategi penataan kawasan perkotaan yang menggunakan sekumpulan elemen lingkungan binaan untuk mengarahkan atau membatasi perilaku dengan sengaja.

"Sering menargetkan kelompok yang lebih sering menggunakan atau memanfaatkan ruang publik, seperti kaum muda, orang miskin, dan gelandangan, daripada kelompok lainnya dengan membatasi perilaku mereka," tulis Cara dalam "Defending Suburbia: Exploring the Use of Defensive Urban Design Outside of the City Centre".

Kajian teman-teman Ikatan Mahasiswa Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Indonesia (IMA FT-UI) menunjukkan konsep ini sudah berkembang di Inggris sejak abad ke-19.

"Gerakan ini dimulai untuk menghindari orang untuk buang air sembarangan di jalanan, lalu berlanjut ke alat berduri yang berada di bagian jendela digunakan untuk menghindari burung-burung liar buang air," catat tim IMA FT_UI dalam "Ruang Publik yang Inklusif".

Baca juga:

Showroom Interior Hadir untuk Menemukan Inspirasi Hunian Impian

bangku peron
Di bangku halte dan taman, kursi sengaja dibuat setidaknyaman mungkin atau bahkan terpotong untuk menghindari gelandangan, pemabuk, dan orang berlama-lama. (Unsplash/Marissa Lewis)

Hostile architecture kemudian berkembang lebih jauh setelah adanya tekanan-tekanan sosial, ekonomi, dan politik. Manusia membutuhkan tempat nyaman dan aman untuk dirinya. Inilah yang mendorong penerapan hostile architecture di kota secara luas, termasuk akhirnya masuk ke Indonesia.

Kamu dapat melihat bentuk hostile architecture di berbagai sudut kota. Dari bangku halte, bangku taman, emperan toko, pion-pion (bollard) di jalur pedestrian, sampai tangga pada jembatan penyeberangan orang.

Di bangku halte dan taman, kursi sengaja dibuat setidaknyaman mungkin atau bahkan terpotong untuk menghindari gelandangan, pemabuk, dan orang berlama-lama. Sementara di emperan toko, para pemilik memasang lantai berduri agar orang tidak duduk di emperannya.

Sedangkan di jalur pedestrian dan jembatan penyeberangan orang, dipasang pion beton agar pemotor roda dua tidak merebut hak pejalan kaki.

Sekilas hostile architecture membantu mengurangi potensi tindak kriminal, gangguan ketertiban umum, atau pelanggaran lalu-lintas. Namun, bagi IMA FT-UI, hostile architecture tidak serta merta menuntaskan masalah pokok di perkotaan, seperti gelandangan.

"Menerapkan arsitektur ini akan mengurangi orang-orang tunawisma dari tidur di ruang publik, tetapi itu kejam untuk dilakukan ketika tidak ada tempat lain bagi mereka untuk pergi," catat IMA. (dru)

Baca juga:

Bandara Banyuwangi Masuk Dalam Nominasi Penghargaan Arsitektur Internasional

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan