Ekonomi Berbagi Justru Menciptakan Kemiskinan dan Ketidakadilan Sosial

Jumat, 21 Oktober 2016 - Zulfikar Sy

Ekonomi Berbagi merupakan fenomena unik yang bangkit dalam lima tahun terakhir.

Contoh Ekonomi Berbagi adalah perusahaan moda transportasi baru Gojek dan Uber. Baik Gojek maupun Uber, sama-sama tidak memiliki aset berupa sepeda motor maupun mobil.

Namun nilai kedua perusahaan telah meningkat luar biasa. Gojek karena keunggulan aplikasinya memiliki nilai valuasi US $ 1,3 miliar; sedangkan Uber mencapai US $ 68,8 miliar, jauh lebih besar dibanding nilai perusahaan otomotif seperti General Motor, Chrysler dan Ford.

Yang pasti Ekonomi Berbagi menguntungkan konseptornya, tapi disisi lain tanpa disadari mengorbankan para pekerjanya, mereka yang berada di lapangan yang memberikan layanan – bahkan juga mengorbankan ekonomi secara luas.

Mantan bankir Satyajit Das, penulis Buku A Banquet of Consequences, melihat alasan mengapa Ekonomi Berbagi digiatkan.

Industri yang ditargetkan oleh platform ini seringkali tidak efisien. Berjalan dengan waktu peraturan bertambah, berkembang melayani kepentingan segelintir pihak ketimbang untuk mempertahankan standar pelayanan dan melindungi pengguna. Akibatnya kompetisi tumbang dan pengembangan justru terhambat.

Para pendukung berpendapat, dengan pembenaran, bahwa pesaing ekonomi berbagi sering menyediakan produk unggulan. Hal ini menyoroti kebutuhan untuk reformasi kerangka peraturan yang ada. Tidak jelas bahwa menggantikan sistem yang ada dengan penyedia layanan yang tidak profesional dan mengganti aturan yang ada dengan yang ternyata adalah monopoli baru merupakan bentuk dari respon yang optimal.

Sebetulnya Ekonomi Berbagi itu, seperti Gojek, Uber dan Grab, dikembangkan untuk menjawab pasar tenaga kerja yang tidak berkembang dan pertumbuhan ekonomi yang lemah.

Pekerja tidak mampu memperoleh pekerjaan atau memerlukan penghasilan tambahan melalui platform ini untuk mendapatkan penghasilan tambahan.

Dibalik perkembangan platform aplikasi tersebut ada tujuan untuk menghindari undang-undang ketenagakerjaan yang mencakup upah minimum, kondisi kerja dan manfaat. Secara teknis, pekerja tidak "dipekerjakan" tapi mereka adalah "kontraktor" yang tidak bisa dijaring peraturan yang ada. Namun hal ini masih jadi perdebatan terutama secara legalitas hukumnya untuk menentukan formulasi hukum yang tepat serta hak-hak pekerja ekonomi berbagi.

Ekonomi Berbagi telah menjadi trend kerja kontrak dan freelance yang merupakan gambaran sebenarnya dari sehatnya pasar kerja. Hal ini juga menjadi bagian dari proses global mengurangi biaya tenaga kerja secara keseluruhan.

Perkembangan Ekonomi Berbagi dalam pandangan Satyajit seperti yang dimuat marketwatch.com, secara tidak langsung mempengaruhi para pekerja yang tidak mempunyai keahlian dan pekerja yang terampil. Profesional, seperti insinyur, ahli radiologi dan desainer dari Eropa Timur, Asia, Afrika dan Amerika Latin, meremehkan sesama mereka di negara maju. Seperti yang pernah dibayangkan Jay Gould salah seorang pemodal sukses Amerika: "pekerjakan satu setengah pekerja untuk membunuh setengah lainnya"

Hal itu sudah terjadi. Tukang ojek pangkalan bahkan taksi utama seperti Blue Bird, telah kehilangan setengah dari penghasilannya. Tinggal menunggu waktu saja untuk miskin. (dsyamil)

BACA JUGA

Ojek Difa Siap Bersaing dengan Gojek

Cabut Larangan, Jonan Izinkan GoJek dan Sejenisnya Tetap Beroperasi

Belum Ada Payung Hukum, Uber dan Grab Indonesia Tak Bisa Dipersalahkan

'Dosa-Dosa' Uber dan GrabCar Menurut Menteri Jonan

 

 

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan