'Darurat' DBD di Singapura Pertanda Perubahan Iklim

Kamis, 09 Juni 2022 - P Suryo R

SINGAPURA tengah "darurat" demam berdarah dengue (DBD), wabah penyakit musiman yang serangannya luar biasa awal tahun ini.

Negara tetangga itu telah melampaui 11 ribu kasus, melonjak dari 5.258 kasus yang dilaporkan sepanjang tahun 2021. Angka tersebut dicapai sebelum Juni, bulan ketika puncak musim demam berdarah biasanya dimulai.

Baca Juga:

Jangan Kucek Mata Saat Kelilipan, Lalu Harus Gimana?

dbd
Pada 2019, dunia mencatat rekor 5,2 juta kasus DBD, yang di Asia tahun menewaskan ribuan orang. (Foto; freepik/jcomp)

Para ahli memperingatkan bahwa itu adalah angka yang suram tidak hanya untuk Singapura, yang iklim tropisnya merupakan tempat berkembang biak alami nyamuk Aedes yang membawa virus DBD. Namun, juga untuk seluruh dunia. Akibat perubahan iklim global, wabah itu kemungkinan akan menjadi lebih umum dan meluas pada tahun-tahun mendatang.

DBD bukanlah penyakit ringan, menyebabkan gejala seperti flu, yakni demam tinggi, sakit kepala parah dan nyeri tubuh. Dalam kasus ekstrim, pendarahan, kesulitan bernapas, kegagalan organ dan bahkan kematian dapat terjadi.

"[Kasus] pasti meningkat lebih cepat. Ini adalah fase darurat yang mendesak sekarang yang harus kita tangani," kata Menteri Dalam Negeri Singapura Desmond Tan di sela-sela inspeksi lingkungan untuk nyamuk demam berdarah.

Wabah di Singapura telah diperburuk oleh cuaca ekstrem. Kata para ahli, dan masalahnya bisa menjadi pertanda apa yang akan terjadi di tempat lain karena lebih banyak negara mengalami cuaca panas yang berkepanjangan dan hujan deras yang membantu menyebarkan nyamuk dan virus yang dibawa.

"Penyakit ini sekarang endemik di lebih dari 100 negara," kata World Health Organization (WHO) atau Organisasi Kesehatan Dunia dalam laporan demam berdarah global pada Januari 2022, mencatat bahwa kasus telah meningkat 30 kali lipat dalam 50 tahun terakhir.

dbd
Cuaca hangat, hujan, dan lembab merupakan faktor yang berkontribusi besar terhadap lonjakan DBD. (Foto: Unsplash/Lily Banse)

Menurut WHO, tidak hanya jumlah kasus yang meningkat ketika penyakit menyebar ke daerah baru tetapi wabah eksplosif sedang terjadi.

Berdasarkan data WHO, pada 2019, dunia mencatat rekor 5,2 juta kasus demam berdarah, dan wabah di seluruh Asia tahun itu menewaskan ribuan orang. Tahun ini, Singapura, di mana demam berdarah telah menjadi endemik selama beberapa dekade, sejauh ini hanya mengalami satu kematian akibat demam berdarah tetapi dengan meningkatnya jumlah kasus, pihak berwenang tidak mau mengambil risiko.

“Pada 28 Mei 2022, sekitar 11.670 kasus demam berdarah telah dilaporkan tahun ini – [dengan] sekitar 10 persen kasus memerlukan rawat inap,” kata juru bicara Kementerian Kesehatan Singapura kepada CNN.

Penerimaan demam berdarah di unit gawat darurat rumah sakit meningkat karena lonjakan baru-baru ini, kata juru bicara tersebut, tetapi tetap pada tingkat yang dapat dikendalikan. Namun, dengan musim puncak yang baru saja dimulai, para ahli medis dan dokter seperti Clarence Yeo Sze Kin mengatakan ada kemungkinan tahun ini dapat mencatat rekor jumlah kasus.

"Dengue adalah penyakit musiman dan begitu menjadi panas dan kering, saya biasanya mulai melihat lebih banyak pasien datang," katanya.

Baca Juga:

Mengenal Jenis Sakit Kepala Berdasarkan Letaknya

Pertanda perubahan iklim

nyamuk
Diyakini perubahan iklim memperluas wilayah nyamuk berkembang biak. (Foto: Pexels/Ravi Kant)


Lonjakan demam berdarah Singapura adalah hasil dari berbagai faktor seperti cuaca hangat dan basah baru-baru ini serta jenis virus dominan baru, kata peneliti senior di Duke-NUS Medical School dan pakar penyakit menular baru Ruklanthi de Alwis.

Perubahan iklim, katanya, mungkin akan memperburuk keadaan. "Studi pemodelan prediktif masa lalu telah menunjukkan bahwa pemanasan global akibat perubahan iklim pada akhirnya akan memperluas wilayah geografis (di mana nyamuk berkembang biak) serta panjang musim penularan demam berdarah," kata de Alwis.

Badan Meteorologi Singapura mengatakan, negara tersebut itu memanas dua kali lebih cepat dari bagian dunia lainnya. Suhu harian maksimum bisa mencapai 37 derajat Celcius pada tahun 2100 jika emisi karbon terus meningkat, para ilmuwan cuaca memperingatkan. Suhu baru-baru ini mencapai rekor tertinggi 36,7 derajat Celcius pada Mei di tengah tingkat kelembaban yang terik.

Menurut ilmuwan cuaca dan iklim Koh Tieh Yong dari Universitas Ilmu Sosial Singapura. "Dasawarsa terakhir sangat hangat. Kami sekarang mengalami sekitar 12 hari yang lebih hangat dan 12 malam yang lebih hangat (dibandingkan dengan) 50 tahun yang lalu."

Pakar lain mengatakan bahwa mengingat tren cuaca panas yang berkepanjangan dan curah hujan yang lebih deras dari musim hujan yang tiba-tiba, masalah demam berdarah tahunan di Singapura kemungkinan besar akan semakin parah.

"Kami tidak akan dapat memberantas demam berdarah (karena) cuaca ekstrem yang konstan menciptakan kondisi perkembangbiakan yang sempurna bagi nyamuk," kata ilmuwan iklim Winston Chow dari College of Integrative Studies di Singapore Management University.

Meskipun menghabiskan puluhan juta dolar setiap tahun untuk mencoba menekan populasi nyamuk melalui upaya pengasapan di seluruh pulau, kampanye kesadaran publik, dan bahkan eksperimen baru menggunakan nyamuk hasil lab khusus, lembaga pemerintah di Singapura terus melaporkan peningkatan cluster infeksi demam berdarah dan nyamuk.

"Singapura saat ini menghadapi situasi demam berdarah yang serius," kata Badan Lingkungan Nasionalnya kepada CNN. Dia menambahkan, cuaca hangat, hujan, dan lembab belakangan ini merupakan faktor yang berkontribusi besar terhadap lonjakan tersebut. (aru)

Baca Juga:

Diet Ramah Lingkungan Melindungi Bumi

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan