Cerita Petani Masa Lalu Mencari Biaya Ibadah Haji

Kamis, 31 Agustus 2017 - Yudi Anugrah Nugroho

TIDAK sedikit korban penipuan agen perjalanan haji First Travel mengumpulkan uang sedikit-sedikit selama bertahun-tahun demi mencecap tanah suci. Meski tertipu, keinginan mereka untuk berhaji tak pernah surut. Tuntutan mereka terhadap agen perjalan tak lain uang kembali atau berangkat haji pada tahun mendatang.

Dana perjalanan ibadah haji bagi sebagian kalangan berduit memang bukan perkara sulit. Berkaca pada masa lalu, ketika Raja Ahmad, kerabat Sultan Riau, memutuskan melakukan perjalanan ibadah haji membawa serta 13 orang dengan setengah biaya didapat dari keluarga sementara setengah lagi cukup berlayar ke Jawa untuk berdagang.

Uang demi keperluan naik haji merupakan masalah remeh-temeh bagi seorang petinggi Jawa. Seorang pemuka Jawa, menurut Snouck Hurgronje, Mekka in the Latter Part of the 19th Century, selalu membawa serta sejumlah besar orang desa ke Mekkah untuk melayaninya dan sebagai imbalan mereka mendapat jatah makanan dan penginapan. Tentu soal biaya ditanggung sang tuan.

Selain para raja, para saudagar, pedagang besar terutama komoditi dengan harga tinggi di pasaran dunia seperti kopi, karet, dan lada akan dengan mudah mendaptkan dana berhaji dengan sekali penjualan pada panen besar.

Sementar para petani, apalagi tak memiliki warisan bahkan pendapatan besar, akan menabung selama bertahun-tahun untuk melakukan perjalanan ibadah haji. Seorang desa, pedagang kayubakar, amat terbatas pengetahuannya bahkan mengira sapi sang bupati merupakan kuda bertanduk, seturut cerita Achmad Djajadiningrat, Bupati Serang (1901-1924) pada Memoar Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat, pernah datang kepada sang bupati untuk meminta paspor haji.

Tapi, karena tidak dapat memperlihatkan uang sebesar 500 gulden sebagaimana ditetapkan sebagai ambang batas dana haji oleh pemerintah Belanda, sementara sang petani hanya memiliki uang tabungan sedikit demi sedikit selama 25 tahun, ditanam di berbagai tempat di ladangnya berupa uang sekelip atau 5 sen dan seketip atau 10 sen.

Para petani kelas bawah sering menempuh dua cara untuk mendapatkan dana haji dengan menjual sesuatu untuk memperoleh uang atau meminjam. Tak sedikit para petani menjual tanah, sehingga tak memiliki apa-apa lagi setelah berhaji. Pada tahun 1925, tulis Jacob Vredenbregt, “The Haddj: Some of its Features adn Functions in Indonesia” BKI 118, 1962, sejumlah petani di Banten menggadaikan tanah mereka untuk berhaji, namun tidak mampu menebus kembali, sehingga tanah tersebut menjadi milik sebuah keluarga Syekh Haji, juga seorang rentenir dan penasehat Kongsi Tiga.

Selain itu, pada 1880 para calon haji kalangan bawah memiliki cara untuk menghasilkan uang dengan bekerja selama beberapa tahun menjadi bekerja di perkebunan, kusir, penjaga keamanan, dan pekerjaan kasar lainnya di Malaya dan Singapura sampai dana cukup kemudian naik haji. Mereka baru pulang ke tanah air sepulang haji.

Di Minangkabau, cara seseorang kalangan bawah memperoleh tabungan haji tercermin pada novel pendek terbitan Balai Pustaka tahun 1924, bertajuk Serupiah Pokok ke Mekkahi, gubahan Moehammad Jasin bin HA Rahman. Novel tersebut berlatar periode akhir abad-19, menceritakan nazar seorang ayah untuk mengirim sang anak lelaki menunaikan ibadah haji sembari belajar ke Mekkah. Rencana sang ayah dapat terkabul lantaran dengan modal satu rupiah, dia piara ayam lalu hewan ternak lain selama bertahun-tahun sehingga terkumpul dana haji.

Dari serangkaian kisah para petani maupun kau kelas bawah mengumpulkan uang selama bertahun-tahun mencerminkan keinginan kuat masyarakat lapisan bawah di tanah air untuk beribadah haji. (*)

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan