AKSI Kritik Proyek Penulisan Ulang 'Sejarah Resmi', Disebut sebagai 'Kebijakan Otoriter untuk Legitimasi Kekuasaan'
Senin, 19 Mei 2025 -
MerahPutih.com - Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) menyuarakan penolakan terhadap proyek penulisan ulang 'sejarah resmi' Indonesia.
Proyek tersebut digagas oleh Kementerian Kebudayaan yang dipimpin Fadli Zon.
AKSI, yang beranggotakan sejarawan, aktivis hak asasi, dan akademisi lintas disiplin ilmu, bakal beraudiensi dengan Komisi X DPR RI, Senin (19/5) sore ini, dan membawa pandangan mereka.
AKSI menegaskan bahwa proyek ini berisiko mengaburkan fakta sejarah dan menjadi alat legitimasi politik masa kini.
“Yang paling berbahaya adalah program ini bisa digunakan untuk mencuci dosa rezim baik yang berjalan saat ini maupun yang terjadi selama masa Orba dimana pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) berat masif terjadi,” ujar Marzuki Darusman, Ketua AKSI melalui siaran pers yang dikirimkan.
Mereka mengkhawatirkan langkah ini bisa menciptakan 'sejarah resmi' yang dipakai untuk justifikasi politik.
Penulisan ulang sejarah berlabel 'resmi' seperti ini dikenal terjadi di negara otoriter.
Dalam era demokrasi, contoh terbaru muncul di Korea Selatan pada 2015 oleh Presiden Park Geun-hye, anak dari diktator Park Chung-hee.
Ia berupaya untuk menulis ulang buku sejarah. Namun, gerakan masyarakat sipil berhasil menggagalkan upaya manipulasi sejarah tersebut.
Baca juga:
100 Ahli Dilibatkan, Penulisan Sejarah Indonesia Versi Teranyar Rampung di Agustus 2025
AKSI menilai penulisan sejarah oleh negara tidak memenuhi kaidah akademik.
"Penyebarluasannya akan berdampak luas bagi kesalahan berpikir generasi muda dan akan merugikan kelanjutan kehidupan berbangsa dan bernegara ke depan,” kata sejarawan Asvi Warman Adam, anggota AKSI.
Asvi menambahkan, proyek ini bisa jadi alat penggelapan sejarah. Alih-alih menyelesaikan 12 kasus pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) berat masa lalu, negara malah sibuk menulis narasi baru yang dipoles.
Sementara itu, menurut Kepala Lab45 Jaleswari Pramodhawardani yang juga merupakan anggota AKSI, sejarah adalah teks multitafsir yang tidak bisa dimonopoli negara.
“Hanya di negara otoriter yang pemerintahnya merasa mendapat mandat dari seluruh bangsa untuk merekonstruksi sejarah sesuai dengan kepentingan kekuasaannya, melalui suatu proyek birokratis,” kata Jaleswari.
Usman Hamid dari Amnesty International Indonesia mengingatkan bahwa upaya ini berpotensi menciptakan dogmatisme ideologi.
“Sejarah adalah milik publik termasuk para korban pelanggaran HAM. Mereka berhak untuk mencari, menafsirkan dan memaknainya secara merdeka tanpa campur tangan negara,” kata Usman.
Usman mendesak agar proyek 'sejarah resmi' ini dihentikan demi menjaga kebebasan berpikir dan keberlanjutan demokrasi. (*)
Baca juga:
Pemerintah Tulis Ulang Sejarah, PDIP Minta Uji Publik Naskah Akademik