Akademisi: Hentikan Kapitalisasi Agama untuk Kepentingan Golongan

Minggu, 02 April 2017 - Zulfikar Sy

Sejak beberapa tahun lalu, sejumlah elite politik dan tokoh agama gemar menggunakan isu agama untuk kepentingan politik jangka pendek mereka. Sentimen agama dihembuskan sebagai upaya memenangkan calon yang diusung sekaligus menjegal rival dalam pilkada.

Tentu kita masih ingat, pada perhelatan Pilkada DKI 2012 silam, isu agama kerap dihembuskan oleh sejumlah elite partai politik yang ditujukan untuk pasangan Joko Widodo dan Basuki Tjahaya Purnama (Ahok).

Kini, polemik pemisahan antara agama dan politik kembali muncul ke permukaan. Hal itu tak lepas dari ajang pilkada di Ibu Kota, di mana salah satu calon gubernur, yakni Ahok yang memeluk agama nasrani.

Dosen ilmu politik Universitas Nasional Ganjar Razuni mengatakan bahwa agama dan politik dalam pengertian sebuah nilai-nilai memang tidak bisa dipisahkan. Menurutnya, etika yang masuk dalam undang-undang bisa bersumber dari agama.

Ganjar menjelaskan bahwa dalam konteks agama dan politik yang terpenting ialah jangan ada pihak yang kemudian mengkapitalisasi isu-isu agama untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya.

“Isu agama itu harus diabdikan untuk kepentingan bangsa, bukan kepentingn pribadi,” kata Ganjar saat ditemui reporter merahputih.com, Ponco Sulaksono di kampus Universitas Nasional, Jakarta Selatan, Rabu (29/3).

Ganjar menilai, jika isu agama dikapitalisasi untuk kepentingan menang dan kalah dalam ajang Pilgub DKI Jakarta, hal itu merupakan kemunduran dalam bernegara dan berbangsa.

“Untuk itu, maka berhentilah untuk mengkapitalisasi agama untuk kepentingan golongan,” tegasnya.

Sementara itu, Sekretaris Lembaga Ta'lif wan Nasyr Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LTN PBNU) Savic Ali mengatakan bahwa sejatinya agama mengajarkan kepada kita untuk memilih pemimpin yang amanah, baik, dan adil. Menurut Savic, batasan untuk kita boleh menggunakan agama atau tidak dalam konteks politik itu sudah diatur dalam undang-undang.

“Ini ironisnya adalah agama sering digunakan justru untuk membela hal-hal yang cenderung tidak benar. Mengapa agama tidak digunakan berkampanye, ketika untuk memberantas korupsi,” tegas Savic.

Eks aktivis '98 ini menjelaskan bahwa isu agama yang digaungkan pada Pilgub DKI bukan untuk memperjuangkan nilai-nilai agama dan mewujudkan nilai Islam. Ia menilai, hal itu sebagai politik identitas untuk mengejar kekuasaan, baik itu kekuasaan politik, ekonomi, sosial atau budaya dengan mengkapitalisasi agama.

“Karena kelompok-kelompok ini memang hanya bisa bertarung secara politik kalau mereka menggunakan agama. Ini kan memang kelompok-kelompok yang jualannya agama, kalau gak menggunakan agama, mereka gak bisa jualan,” pungkas Direktur NU Online ini.

Ketua Presidium Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PP PMKRI) Angelius Wake Kako berpendapat bahwa untuk mencapai kebaikan bersama (bonum commune) politik identitas yang semakin menguat di momentum Pilkada DKI harus segera diakhiri.

“Masyarakat harus dididik bagaimana untuk memilih pemimpin secara rasional,” tegas Angelius. (Pon)

Baca juga laporan dari Ponco Sulaksono tentang Pilgub DKI Jakarta 2017 dalam artikel: Isu SARA Di Pilgub DKI Picu Konflik Horizontal

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan