AJI Beberkan Sejumlah Pasal di Perppu Ciptaker yang Dianggap Merugikan Pekerja Media

Rabu, 11 Januari 2023 - Mula Akmal

MerahPutih.com - Presiden Joko Widodo telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Namun, langkah ini malah memicu kontroversi di masyarakat.

Salah satunya datang dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang mengecam kebijakan itu. Ketua Umum AJI Sasmito menuturkan, keputusan pemerintah terkesan mengabaikan partisipasi publik dan masukan masyarakat, termasuk komunitas pers dalam penerbitan Perppu ini.

Baca Juga:

Puluhan Ribu Buruh Demo Perppu Ciptaker ke Istana pada 14 Januari 2023

"Perppu ini memiliki dampak yang besar bagi semua pekerja di Tanah Air, tidak terkecuali pekerja media,"ungkap Sasmito di Jakarta, Rabu (11/1).

Sasmito mencontohkan sejumlah pasal di klaster ketenagakerjaan di Perppu Cipta Kerja yang merugikan pekerja khususnya di industri media. Seperti Pasal 156 yang mengatur tentang pesangon masih dipertahankan di Perppu Cipta Kerja.

Ini artinya penghitungan pesangon tetap mengacu pada aturan turunan UU Cipta Kerja yakni Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

"Dalam beberapa kasus PHK, PP ini merugikan pekerja media karena jauh lebih buruk dibandingkan UU Ketenagakerjaan," ucap Sasmito.

Lalu, pasal 163 dan Pasal 164 UU Ketenagakerjaan dalam Perppu Cipta Kerja dihapus, sama dengan UU Cipta Kerja.

Kedua pasal ini mengatur tentang hak buruh atas uang pesangon sebesar dua kali ketentuan Pasal 156 ayat (2).

"Hal ini tentu merugikan pekerja media yang di-PHK karena mengurangi besaran pesangon yang semestinya didapatkan," sebut Sasmito.

AJI Indonesia juga menemukan pasal-pasal terkait pengaturan alih daya, pekerja kontrak, pengaturan waktu kerja, dan cuti yang sama dengan UU Cipta Kerja.

Baca Juga:

DPR Persilakan Serikat Pekerja dan Masyarakat Sampaikan Aspirasi Terkait Perppu Ciptaker

Praktik tentang ketentuan ini jamak ditentukan di dunia pers dan merugikan pekerja media.

"Sebagai contoh pekerja alih daya di televisi yang dikontrak hingga belasan tahun, dengan cara diperbaharui kontraknya setiap tahun dengan perusahaan yang berbeda," ungkap dia.

AJI Indonesia juga menyoroti revisi Undang Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran dalam UU Cipta Kerja yang kemudian dipindahkan ke Perppu Cipta Kerja.

Salah satunya tentang ketentuan yang tidak sejalan dengan semangat demokratisasi di dunia penyiaran.

Perppu Cipta Kerja membolehkan dunia penyiaran bersiaran secara nasional, sesuatu yang dianggap melanggar oleh Undang Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran.

"Sebab, larangan siaran nasional ini justru untuk mendorong semangat demokratisasi penyiaran, yaitu memberi ruang pada budaya dan ekonomi lokal bertumbuh,"cetus Sasmito.

Perppu Cipta Kerja juga memberi kewenangan besar kepada pemerintah mengatur penyiaran. Sebab, pasal 34 yang mengatur peran KPI dalam proses perijinan penyiaran, dihilangkan.

"Dihapusnya pasal tersebut juga menghilangkan ketentuan batasan waktu perizinan penyiaran yaitu 10 tahun untuk televisi dan lima tahun untuk radio dan juga larangan izin penyiaran dipindahtangankan ke pihak lain," tutur Sasmito.

Ika berharap, DPR menolak Perppu Cipta Kerja. "DPR sebagai wakil masyarakat tidak boleh menjadi alat atau stempel pemerintah yang jelas melanggar konstitusi," tutup Sasmito. (Knu)

Baca Juga:

DPR akan Bahas Perppu Cipta Kerja Pekan Depan

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan