AHY Kritik Presidential Threshold Picu Disintegrasi Bangsa

Jumat, 01 Maret 2019 - Eddy Flo

MerahPutih.Com - Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang juga Komandan Komando Tugas Bersama (Kogasma) Partai Demokrat mengkritik presidential threshold atau ambang batas partai politik dan gabungan partai politik dalam mencalonkan presiden dan wakil presiden sebesar 20 persen.

Menurut AHY, presidential threshold 20 persen atau 25 persen suara nasional membawasi pilihan masyarakat dalam mengusung calon pemimpin negara.

"Itulah mengapa Partai Demokrat tampil ke depan untuk mengoreksi batasan 'presidential threshold' yang berpotensi membelah bangsa karena terbatasnya pilihan calon pemimpin kita," kata AHY dalam pidato politiknya di Djakarta Theater, Jakarta, Jumat (1/3) malam.

AHY lebih lanjut menegaskan bahwa partai juga bertekad untuk serius mencegah terbelahnya persatuan dan kesatuan bangsa.

Demokrat menurut calon suksesor SBY di Partai Demokrat itu sebagai partai tengah dengan landasan ideologi nasionalis-religius siap menjadi benteng tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Kogasma Partai Demokrat AHY
Komandan Kogasma Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (tengah) berfoto bersama sejumlah kader partai Demokrat usai menyampaikan orasi politik di Jakarta Convention Center, Jakarta (ANTARA FOTO/Galih Pradipta)

"Kondisi terbelahnya bangsa, tentu bukan tanpa sebab. Karenanya, kami juga menyoroti pertarungan dua capres yang sama pada tahun 2014 dan 2019," ujarnya.

Dalam kaitan itu, AHY sebagimana dilansir Antara mencermati perkembangan sosial politik yang sedang terjadi karena perhelatan demokrasi ini oleh kalangan tertentu dijadikan sebagai ajang memaksakan keyakinan dan pilihan politiknya. Dampaknya menurut dia, muncul fanatisme yang berlebihan, yang pada akhirnya, justru kontra-produktif dengan tujuan memajukan bangsa dan negara itu sendiri.

"Sayangnya, karena perbedaan pandangan dan pilihan politik, tak ayal, seringkali kita berdebat kusir, membela pilihannya masing-masing secara subjektif dan membabi-buta. Kita tidak lagi mau mendengar dan melihat secara jernih dan jujur tentang apa yang sebenarnya terjadi," katanya.

Lebih parah lagi, lanjut AHY, karena perbedaan pandangan politik kita sering keluar dari akal sehat misalnya kawan-kawan kita atau justru kita sendiri keluar grup whatsapp karena jengkel, seolah-olah kawan-kawan kita tidak lagi sejalan.

Karena itu dia menyayangkan karena kehidupan politik dan demokrasi, yang susah payah kita bangun sejak krisis 1998 dan hasilnya kian nyata, namun saat ini terasa mundur kembali.

"Saat Partai Demokrat berada di pemerintahan, atau ketika menjadi 'the ruling party', sesungguhnya kami bersyukur karena demokrasi, termasuk pemilu kita, makin matang dan makin berkualitas," ujarnya.

AHY mengatakan ketika Demokrat memimpin, stabilitas politik terjaga baik dan kalau ada riak dan dinamika, hal itu memang menjadi bagian dari demokrasi dan kebebasan itu sendiri.

Dalam pemilu menurut dia, tidak muncul ketegangan yang berlebihan antarkelompok pendukung, golongan, apalagi antaridentitas (SARA).

"Perbedaan pandangan dan pilihan politik tidak dibawa ke level pribadi atau personal. Kalaupun ada, jumlahnya relatif kecil dan tidak menjadi keprihatinan nasional," katanya.

AHY menegaskan bahwa pesta demokrasi seperti Pileg dan Pilpres 2019 seharusnya disambut dengan riang gembira, bukan dengan kebencian dan hati yang susah, karena putusnya silaturahmi akibat perbedaan pandangan dan pilihan politik.(*)

Baca berita menarik lainnya dalam artikel: KPK Tetapkan PT Merial Esa Milik Suami Inneke Sebagai Tersangka Korporasi

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan