Wakapolri Klarifikasi Isu Pelibatan Preman Tertibkan Protokol Kesehatan


Wakapolri Komjen Pol Gatot Eddy Pramono. (ANTARA/ Anita Permata Dewi)
MerahPutih.com - Wakapolri Komjen Gatot Eddy Pramono mengklarifikasi terkait pemberitaan Polri hendak merekrut preman pasar untuk penegakan protokol kesehatan COVID-19 dalam Rapat Kerja (Raker) Komisi III DPR. Menurutnya, pelibatan preman itu hanya untuk pasar tradisional yang tidak memiliki struktur pengelola yang jelas.
“Kita melaksanakan secara situasioner dan secara mobile. Nanti yang menegakan sanksinya siapa nanti adalah Satpol PP nantinya. Bahkan, pada perda-perda yang sudah ada turun bersama pengadilan,” imbuhnya.
Baca Juga
Menkes Siap Tambah Hotel Berbintang Buat Isolasi Orang Tanpa Gejala
Gatot melanjutkan, untuk membangun kesadaran yang berbasis komunitas yang terdiri atas komunitas perkantoran, komunitas pasar, komunitas hobi, komunitas ojek dan komunitas motor besar yang semuanya mempunyai pimpinan-pimpinan formal dan informal.
Dia mencontohkan perkantoran pasti ada pemilik dan bagian keamanannya. Dan Polri bersama dengan TNI dan Satpol PP akan berkoordinasi untuk menyampaikan penerapan protokol COVID-19 yang benar.
“Nah, komunitas siapa di situ. Mereka yang bertanggung jawab di sana. Mendisiplinkan. Mendisplinkan kita merangkul semua bukan mereka menegakkan perda,” jelasnya.
Menurut Gatot, pimpinan komunitas itu akan membantu menegakan protokol COVID-19 di komunitas masing-masing, karena Polri dan TNI tidak berpatroli dan bersama mereka di sana selama 24 jam tetapi, akan ada pimpinannya yang mengingatkan hingga akhirnya timbul kesadaran kolektif dan saling mengingatkan.
“Karena kalau tidak pakai masker bisa memaparkan kepada orang lain. Begitu juga di pasar. Pasar itu kan ada Pasar Jaya, mall ada owner-nya, ada satpamnya. Kita mudah membentuk di sana,” terang Gatot.

Namun, sambung Gatot, pada pasar-pasar tradisional realitasnya masyarakat Indonesia yang tradisional itu ada yang menyebutnya kepala keamanan, ada yang menyebutkan mandor, jegger, atau preman. Mereka yang ada setiap hari di sana.
“Bukan merekrut preman. Itu yang keliru. Tapi, kita merangkul mereka pimpinan-pimpinan informal yang ada di komunitas itu untuk bersama-sama kita membangun satu kesadaran kolektif untuk mematuhi protokol COVID-19,” paparnya.
Gatot menegaskan, mereka ini bukan menegakkan perda. Karena, di pasar tradisional itu memang ada yang mengawasi polisi dan kalau di desa itu ada Babinkamtibnas, tetapi mereka tidak berada di sana setiap waktu. Sehingga, dengan pimpinan informal akan berada di sana setiap waktu dan membantu mengingatkan dan menegakan protokol COVID-19.
“Jadi, saya bilang realitas sosial di masyarakat harus dipahami. Sehingga kita dari segi sosiologis bukan mereka preman dari mana kita rekrut. Tapi pimpinan informal di sana yang ada mereka tentunya bersama dengan komunitas yang ada untuk mematuhi protokol Covid-19,” ujar Gatot.
"Kalau ada kesadaran kolektif berbasis komunitas ini kita kerjakan bersama-sama saya kira percepatan dalam memutus mata rantai Covid-19 itu bisa dilaksanakan,” pungkasnya.
Ketua Harian Kompolnas Benny Mamoto menilai, permasalahan ini harus dihadapi dan ditangani bersama-sama oleh semua komponen masyarakat.
"Kita tidak bisa hanya menyerahkan kepada pemerintah atau aparat. Marilah kita mulai dari diri kita, keluarga kita, dan lingkungan kita," katanya.
Menurut Purnawirawan Bintang Dua Polri ini, edukasi menjadi penting karena menyangkut kebiasaan baru yang berkaitan dengan kesehatan.
"Ketidakpedulian satu orang atau kelompok akan berdampak serius bagi semua. Saat ini cluster yg berkembang adalah di kerumunan massa, seperti pasar tradisional. Banyak Ibu-ibu dan penjual yang abai menggunakan masker. Oleh sebab itu, perlu koordinasi dan kerja sama dengan pengelola pasar dan tokoh-tokoh masyarakat yang berpengaruh dilingkungan tersebut," katanya.
Keberadaan tokoh komunitas untuk ikut mengedukasi di lingkungan tersebut. Bila masih ada pelanggaran maka upaya persuasif di kedepankan. Edukasi yang tepat dengan bahasa yang mudah di mengerti akan menyadarkan masyarakat untuk ikut berpartisipasi
Menurut Benny, berkaitan dengan pernyataan Wakapolri yang dipelintir (ditafsirkan sendiri oleh penulisnya) sesungguhnya dimaksudkan sebagai pemberdayaan seluruh elemen masyarakat, termasuk di lingkungan pasar tradisional, ujarnya.
"Masing-masing pasar tradisional memiliki ciri khas sendiri sesuai kearifan lokalnya sehigga pendekatannya pun perlu disesuaikan. Penggunaan istilah preman (oleh si penulis) justru menyesatkan dan menyinggung perasaan orang yang dituju," kata mantan Deputi Pemberantasan BNN ini.
Baca Juga
Update Senin (14/9), Kasus Positif COVID di Indonesia Tembus 221 Ribu
Dalam tugas berat, sosialisasi protokol kesehatan, semua komponen masyarakat yang dilibatkan, termasuk tokoh masyarakat, tokoh informal, sesepuh, tokoh tertua yang ada di pasar tersebut yang punya pengaruh.
"Semua itu tujuannya agar masyarakat patuh pada protokol kesehatan sengga mereka terhindar dari penularan COVID-19 atau menularkan (carrier) ke orang lain, katanya. (Knu)
Bagikan
Andika Pratama
Berita Terkait
Pemberantasan Premanisme di Jabodetabek: Ribuan Spanduk Dicopot dan Ratusan Posko Ormas Dirobohkan

3.399 Preman Terjaring Operasi Berantas Jaya, 56 di Antaranya Merupakan Anggota Ormas

Polda Jatim Tangkap 2.307 Tersangka Kasus Aksi Premanisme, Mayoritas Lakukan Penganiayaan

Intai Korban Keluar Hotel, Dugaan Premanisme Bermodus Ngaku Wartawan Ditangkap Polda Jateng

Puluhan Preman Termasuk Mengaku dari GRIB dan FBR Ditangkap karena ‘Peras’ Pedagang Berkedok Uang Keamanan sampai Jutaan Rupiah

Politikus PKB Apresiasi Polisi Mulai Tangkap Preman, Dibiarkan Bisa Jadi Kejahatan Lebih Kompleks

Gubernur Bali Perintahkan Satpol PP Sikat Preman Bekedok Ormas, Aneh-Aneh Tindak Tegas!

Komisi II DPR Dukung Kemendagri Cabut Status Ormas yang Terlibat Premanisme

Komisi III DPR Minta Satgas Antipremanisme Gerak Cepat

Operasi Kepolisian Kewilayahan Sasar Premanisme, Jamin Kepastian Hukum Investasi
