Tradisi Puputan Adat Jawa untuk Berkah Keselamatan Anak


Upacara puputan atau yang dalam Bahasa Jawa disebut sebagai puput puser ini dilakukan, tujuannya untuk memohon keselamatan bagi bayi. (freepik/onlyyouqj)
KELAHIRAN bayi adalah hal yang sakral. Dalam tradisi masyarakat Jawa, leluhur sebelumnya selalu melakukan ritual khusus dengan sejumlah pantangan dan aturan baku.
Salah satunya upacara tradisi puputan akan dilakukan saat tali pusar terlepas dari pusar bayi. Sebagaimana diketahui, tali pusar bayi akan mengering dan terlepas dengan sendirinya. Pada saat inilah, upacara puputan atau yang dalam Bahasa Jawa disebut sebagai puput puser ini dilakukan. Tujuannya untuk memohon keselamatan bagi bayi yang bersangkutan.
Waktu untuk penyelenggaraan upacara ini tidak ada ketentuan yang pasti, hal ini bergantung pada lama dan tidaknya tali pusar si bayi lepas dengan sendirinya. Tali pusar bayi dapat lepas sebelum seminggu bahkan bisa lebih dari seminggu.
Baca Juga:
Passiliran Tradisi Pemakaman Bayi dalam Batang Pohon Desa Kambira, Toraja

Pada bayi perempuan, upacara puputan ini dilakukan dengan cara menutup pusar yang baru saja mengering dengan sepasang ketumbar. Sementara itu, pada bayi laki-laki, pusar ini ditutupi dengan sepasang merica.
Sebelum melakukan upacara tradisi puputan, keluarga biasanya akan memagari sekeliling rumah dengan benang Lawe. Setelahnya, pintu rumah diberi beberapa dedaunan seperti daun nanas, daun lolan, daun widara, dan daun girang.
Pintu rumah juga dicoreti dengan injet dan jelaga serta dipasangi duri-durian yang berasal dari pohon kemarung. Hal ini bertujuan untuk menolak sawan atau makhluk halus yang bisa membuat bayi ketakutan atau jatuh sakit.
Namun, keluarga si bayi harus siap mengadakan upacara puputan jika sewaktu-waktu tali pusar tersebut lepas. Dalam tradisi puputan terdapat makna atau lambang yang tersirat, antara lain sebagai berikut :
1. Nasi gudangan mengandung makna kesegaran jasmani dan rohani sang bayi.
2. Jajan pasar melambangkan kekayaan untuk si bayi.
3. Duri dan daun-daunan berduri (duri kemarung dipasang di penjuru rumah mengandung maksud agar dapat menolak gangguan bencana gaib dari makhluk halus jahat.
4. Coreng-coreng hitam dan putih pada ambang pintu untuk menolak pengaruh jahat yang akan masuk melalui pintu.
5. Daun nanas yang diolesi hitam dan putih menyerupai ular welang mengandung makna magis yang mampu menakut-nakuti makhluk halus jahat yang hendak memasuki kamar bayi.
6. Dedaunan apa-apa, awar-awar, dan girang memiliki makna agar kelahiran tidak mengalami suatu gangguan (apa-apa), semua kekuatan jahat menjadi tawar (awar-awar), dan seluruh keluarga akan bergembira (girang).
7. Pisang raja melambangkan agar si bayi kelak berbudi luhur atau memiliki derajat mulia.
8. Tumbak sewu (sapu lidi yang diberi bawang dan cabai) memiliki makna untuk menolak makhluk gaib jahat supaya tidak mengganggu keselamatan sang bayi.
Baca Juga:

Rangkaian tradisi puputan dimulai dengan upacara sepasar. Sepasar merupakan satu rangkaian hari dalam kalender Jawa yang berumur lima hari, yaitu pon, wage, kliwon, legi dan pahing. Upacara sepasaran merupakan upacara yang menandakan bayi telah berumur sepasar (lima hari).
Sebagian masyarakat mengadakan upacara sepasaran dengan sederhana, yaitu mengadakan kenduri atau selamatan dan dihadiri oleh keluarga dan tetangga terdekat. Setelah acara kenduri, tetangga yang menghadiri acara selamatan akan membawa pulang makanan yang disediakan oleh tuan rumah.
Namun, dibeberapa daerah di Jawa upacara sepasaran dianggap merupakan upacara yang paling meriah dalam rangkaian upacara kelahiran anak. Upacara sepasaran tersebut diadakan secara besar-besaran sesuai kemampuan keluarga masing-masing dan biasanya disertai dengan pemberian nama sang bayi.
Meskipun terdapat perbedaan pandangan dalam pelaksanaannya. Upacara sepasaran tidak memiliki aturan mengikat, yang utama adalah diadakan setelah bayi berumur lima hari.
Ada sebagian masyarakat yang tidak merayakan upacara sepasaran secara meriah. Namun, biasanya upacara selapanan diselenggarakan dengan meriah. Selapanan menandakan bahwa sang bayi telah berumur 35 hari.
Upacara selapanan biasanya berhubungan dengan weton san bayi. Weton anda merupakan gabungan dari tujuh hari dalam seminggu (Senin, Selasa, dan seterusnya) dengan lima hari pasaran Jawa (Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon). Jika dalam upacara sepasar dulu bayi belum diberi nama, ketika upacara selapanan ini si bayi diberi nama oleh kedua orangtuanya.
Sebelum upacara selapanan dilakukan didahului dengan upacara parasan, yaitu mencukur rambut sang bayi. Parasan pertama kali dilakukan oleh ayah si bayi kemudian diikuti oleh sesepuh keluarga. Bayi digendong oleh ibunya dan ayah mencukur rambut si bayi. Atau ayah yang menggendong si bayi dan sesepuh keluarga yang mencukur rambut si bayi. Setelah rambut selesai tercukur bersih, dilakukan pengguntingan kuku.
Selama proses pencukuran rambut dan pengguntingan kuku, tetua desa atau adat membacakan mantra-mantra (doa-doa) penolak bala. Cukuran rambut dan guntingan kuku dimasukan ke dalam kendhil atau air kelapa muda (degan) baru kemudian dibungkus dengan kain mori, lalu dikubur di tempat penguburan atau penanaman ari-ari.
Setelah prosesi parasan selesai, diucapkan ujub disusul dengan doa keselamatan bagi sang bayi dan keluarga. Sebagian sesajian selamatan dibawa pulang oleh kerabat dan tetangga yang hadir. Setelah upacara adat selapanan, rangkaian upacara adat yang berkaitan dengan kelahiran anak selesai dilaksanakan. (dgs)
Baca Juga:
Bagikan
Berita Terkait
15 Tahun Batik Wistara Konsisten Berdayakan Disabilitas Lewat Batik Khas Surabaya

Pramono Sebut Jakarta Harus Punya Lembaga Adat Betawi, Jadi Identitas Kuat sebagai Kota Global

Tradisi Yaa Qowiyyu Klaten, Ribuan Warga Berebut Gunungan Apem

Keberagaman budaya Indonesia Masih Jadi Magnet Bagi Wisatawan Mancanegara

Genre Imajinasi Nusantara, Lukisan Denny JA yang Terlahir dari Budaya Lokal hingga AI

Menbud Pastikan Pacu Jalur yang Kini Viral Sudah Lama Masuk Daftar Warisan Budaya Takbenda Nasional

Pemprov DKI Segera Rampungkan Perda yang Melarang Ondel-ondel Ngamen di Jalan, Rano Karno: Mudah-mudahan Sebelum HUT Jakarta

Wajah Baru Indonesia Kaya Konsiten Usung Budaya Indonesia dengan Konsep Kekinian

Komisi X DPR Soroti Transparansi dan Partisipasi Publik dengan Menteri Kebudayaan

Fadli Zon: Kongres Perempuan 1928 Justru Diperkuat dalam Sejarah Indonesia
