Arat Sabulungan,Sistem Kepercayaan Suku Mentawai yang Hampir Hilang


Suku Mentawai sedang melakukan ritual Arat Sabulungan. (padangkita.com)
SEJAK zaman kolonial Belanda, penyebaran agama mulai digencarkan di Kepulauan Mentawai. Keyakinan masyarakat lokal coba digerus dengan ajaran baru. Agama yang tentunya asing bagi penduduk Mentawai.
'Penjajahan' atas ideologi tersebut memuncak pada 1950. Mayoritas penduduk Mentawai kota akhirnya mulai memeluk agama pendatang; Katolik, Protestan, dan Islam.
Namun, hal tersebut tak berlaku bagi masyarakat Mentawai yang tinggal di pedalaman. Mereka tidak peduli. Bagi mereka, agama leluhur tidak bisa ditukar dengan apa pun. Apalagi hanya dengan sembako atau beberapa kardus bungkus mi.
Baca Juga:

Salah seorang wisatawan lokal, Rengga Satria mengungkapkan saat mengunjungi Mentawai untuk kali pertamanya. Ia berkata, agama yang dibawa misionaris ke daerah pedalaman seperti angin lewat bagi masyarakat asli. "Mereka enggak peduli. Mereka ambil sembakonya aja, tuh," kata Rengga kepada merahputih.com beberapa waktu lalu.
Masyarakat Mentawai, kata Rengga, percaya bahwa roh leluhur mereka memiliki kesaktian tiada tara. Karena itu, penghormatan terhadap nenek moyang mesti terjaga. Kepercayaan tersebut bernama Arat Sabulungan. Arat artinya adat. Sedangkan Sabulungan berarti daun atau buluh.
Dalam setiap ritual, masih kata Rengga, masyarakat Mentawai selalu menggunakan dedaunan yang dipercaya dapat menghubungkan manusia dengan Sang Mahakuasa. "Mereka menyebutnya Ulau Manua (Tuhan)," katanya.
Aman Laulau selaku Sikerei atau ahli pengobatan tradisional dari Buttui, Siberut Selatan, Kepulauan Mentawai, menjelaskan dalam AratSabulungan sesungguhnya mengajarkan keseimbangan antara manusia dan alam.
"Keyakinan tersebut mengajarkan bahwa manusia harus memperlakukan alam serta binatang seperti menyayangi diri sendiri," kata Aman Laulau seperti diucapkan Rengga.
Baca Juga:
Adat Bundo Kanduang dalam Sistem Matrilineal Budaya Minangkabau

Selain itu, masyarakat Mentawai juga meyakini bahwa pohon dan hutan merupakan tempat dewa-dewa mereka bersemayam. Karena itu, kata Rengga, harus dihormati. "Jika tidak, malapetaka bakal menimpa mereka," katanya.
Dalam ajaran Arat Sabulungan, terdapat tiga dewa yang mesti dihormati. Pertama Tai Kalelu, yakni dewa hutan dan gunung. Pesta adat sebelum berburu selalu dipersembahkan kepada dewa tersebut.
Kemudian ada Dewa Tai Leubagat, yang merupakan dewa laut. Ketiga yakni Tai Kamanua, yang merupakan dewa langit sang pemberi hujan dan kehidupan.
Pada zaman dulu, Arat Sabulungan dijadikan sebagai norma dalam penentuan segala hubungan manusia dengan alam dan dalam hubungan batin khusus dengan Tuhannya.
Karena itu, bagi siapa saja yang melanggar Arat akan dijatuhi hukuman yang ditentukan dalam musyawarah Uma (pemimpin). Mereka berkeyakinan bahwa jika ada salah satu yang melanggar, maka semua akan terkena dampaknya. (*)
Baca Juga:
Makna Bunga Melati yang Sering Muncul dalam Acara Kenegaraan Indonesia
Bagikan
Berita Terkait
15 Tahun Batik Wistara Konsisten Berdayakan Disabilitas Lewat Batik Khas Surabaya

Aji Mumpung Banget ini, Seoul Tawarkan Paket Wisata dengan Kelas Tari 'KPop Demon Hunters'

Pramono Sebut Jakarta Harus Punya Lembaga Adat Betawi, Jadi Identitas Kuat sebagai Kota Global

Airbnb & SEVENTEEN Hadirkan Pengalaman Eksklusif di Seoul, LA, dan Tokyo, Bikin Pengalaman tak hanya Konser Biasa

Cara Ramah Pulau Jeju Ingatkan Wisatawan yang Bertingkah, tak ada Hukuman

PSI Tolak Rencana Pramono Buka Ragunan hingga Malam Hari, Pertanyakan Kesiapan Fasilitas

Tradisi Yaa Qowiyyu Klaten, Ribuan Warga Berebut Gunungan Apem

Penyegelan Pulau Reklamasi di Perairan Gili Gede Lombok Tunggu Hasil Observasi Lapangan

Serba-serbi Gunung Tambora, Pesona Jantung Konservasi Alam Khas Indonesia Timur

Keberagaman budaya Indonesia Masih Jadi Magnet Bagi Wisatawan Mancanegara
