Teknologi BMKG Buktikan Indonesia Bukan Penyumbang Ketiga Efek Rumah Kaca Dunia


Ilustrasi Efek Rumah Kaca. Foto: pixabay
MerahPutih.com - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) berhasil membuktikan tudingan Indonesia penyumbang terbanyak emisi gas rumah kaca (GRK) terbesar ketiga di dunia salah. Bantahan ini merujuk hasil temuan teknologi canggih yang dikembangkan BMKG selama belasan tahun.
"Sebelumnya Indonesia dituding oleh dunia sebagai kontributor gas rumah kaca terbesar nomor tiga di seluruh dunia. Itu tuduhan dunia. Namun berkat pengawasan atau pemantauan yang dilakukan BMKG kita bisa membuktikan tudingan itu tidak berdasarkan data yang tepat," kata Kepala BMKG Dwikorita Karnawati di Jakarta, Selasa (7/8).

Menurut Dwikorita, selama 14 tahun pengukuran gas rumah kaca di Stasiun Global Atmosphere Watch (GAW) atau Stasiun Pemantau Atmosfer Global Bukit Koto Tabang, Sumatera Barat, kenaikan konsentrasi karbondioksida (CO2) sekitar 1,94 ppm per tahun dari 371,7 ppm pada Juni 2004 menjadi 398,8 ppm pada Juni 2018.
Namun, lanjut dia, dengan Stasiun GAW menghasilkan data kenaikan CO2 1,94 ppm sejak 1996 sampai 2018. 1,94 ppm ini ternyata di bawah rata-rata kenaikan dunia yang mencapai dua koma sekian ppm. Artinya kalau masih di bawah rata-rata itu kan berarti bukan kontributor nomor tiga di dunia, tambah Dwikorita.
Kenaikan konsentrasi CO2 di Indonesia itu menunjukkan angka yang lebih rendah dari laju kenaikan konsentrasi CO2 global, namun sama-sama memiliki kecenderungan tren yang terus naik dari waktu ke waktu. Oleh karenanya, semua komponen bangsa harus menempatkan kesadaran bersama dalam upaya mitigasi perubahan iklim.
"Kami terus melakukan pemantauan dan pengawasan dan berupaya mengurangi gas rumah kaca secara sistem," tutur petinggi BMKG itu dalam acara Lokakarya Internasional Penguatan Pelayanan Publik di Bidang Pemantauan Gas Rumah Kaca di Hotel Borobudur, dikutip Antara.

Dwikorita menuturkan walaupun laju kenaikan CO2 Indonesia itu tidak setinggi konsentrasi CO2 hasil pengukuran di Stasiun GAW Mauna Loa di Amerika Serikat maupun pengukuran rata-rata global, tetapi data dan informasi yang diperoleh dari Stasiun GAW Bukit Koto Tabang sangat bermanfaat untuk referensi dalam mitigasi perubahan iklim dan negosiasi praktis perubahan iklim.
Temuan Stasiun GAW Bukit Koto Tabang ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah karena telah berstandar internasional termasuk kapasitas sumber daya manusia dan peralatan. "Datanya diakui oleh dunia yang mana data yang dikeluarkan dari Stasiun GAW Bukit Koto Tabang merupakan data berkualitas dunia," tandas dia. (*)
Bagikan
Wisnu Cipto
Berita Terkait
Suhu di Sebagian Daerah Jawa Barat Capai 37,6 Derajat Celsius, Masih Lebih Rendah Dibanding 2022

Cuaca Panas Landa Indonesia, BMKG Sebut Suhu di Jabar, NTT, dan Papua Tembus 37 Derajat Celsius

Cuaca Panas, Suhu di Solo Tembus 30 Derajat Celcius

BPBD Mulai Terima Laporan Bangunan Rusak Buntut Gempa Magnitudo 6,6

Papua Digoyang Gempa Magnitudo 6,6: Tak Berpotensi Tsunami, Masyarakat Diminta Waspada

Ungkap Penyebab Cuaca Panas Ekstrem 37,6 Derajat Celcius, BMKG: Radiasi Matahari Capai Titik Maksimal

Sejumlah Masalah Kesehatan Bisa Muncul Akibat Cuaca Panas Ekstrem, Ini yang Harus Dilakukan

Tanggapi BMKG soal Cuaca Ekstrem, Gubernur Pramono: Jakarta Aman, yang Penting Hatinya Enggak Panas

Prakiraan BMKG: Hujan Ringan hingga Disertai Petir Terjadi di Sejumlah Kota Besar di Indonesia pada Rabu, 15 Oktober 2025

BMKG Prediksi Panas Ekstrem akan Mereda pada Akhir Oktober
