Revisi UU Pilkada Dinilai Lucu


sumber foto: Antara
MerahPutih Nasional- Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Jimly Asshiddiqie menilai revisi terhadap Undang-Undang Pilkada hal yang aneh. Pasalnya, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) sudah disahkan menjadi Undang-Undang.
"Sehinga proses perubahan kelihatanya seperti lucu gitu ya. Sudah disetujui jadi UU kemudian diadakan perubahan karena memang Perppu hanya mungkin ditolak atau disetujui. Walaupun sebenarnya kalau ditolak bisa diadakan perubahan," kata Jimly di DPR, Jakarta, Selasa (20/1).
Dengan disetujui Perppu Pilkada, kata Jimly, secara politis juga berdampak positif bagi Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Partai Demokrat. Namun, dia mengakui memang ada beberapa hal mendasar yang perlu diperbaiki.
"Misalnya uji publik yang sampai lima bulan kan bisa satu bulan saja. Itu hal-hal yang bisa diperbaiki menyangkut teknis," kata dia.
Masih menurutnya, hal yang sangat serius untuk mendapat perhatian adalah terkait putusan MK yang mengembalikan kewenangan perselisihan hasil pilkada bukan lagi menjadi kewenangan MK. Ini sangat serius, sebab berkaitan dengan hakikat pilkada itu sebagai pemilihan umum atau bukan. Kalau dia pemilihan umum, maka penyelenggaranya adalah KPU dan perselisihan hasilnya di MK.
Kalau didefinisikan sebagai bukan pemilu, benar perselisihan hasilnya bukan lagi di MK, tapi yang jadi masalah penyelenggaranya bukan lagi di KPU, karena UUD sudah mendesain penyelenggara Pemilu itu KPU, inilah yang tidak konsisten di Perppu.
Pandangan tersebut, kata Jimly, muncul karena tidak secara utuh dalam menangkap pesan dari putusan MK. Padahal MK sebelumnya pada tahun 2005 telah mengeluarkan putusan, sehingga yang terjadi adalah kesalahpahaman seakan-akan mutlak putusan itu menentukan bahwa pilkada bukan lagi pemilihan umum.
"Kalau dia bukan pemilu, itu konsekuensinya, KPU tidak boleh menjadi penyelenggaranya. Karena itu saya menyarankan putusan MK harus dibaca kembali. Dan, dibacanya sebagai satu kesatuan dengan putusan MK sebelumnya tahun 2005 yang menegaskan bahwa pemilihan kepala daerah itu mau ditentukan sebagai pemilihan umum atau bukan. Dibuka sebagai kebebasan pembentuk UU dalam hal ini pemerintah bersama DPR," jelas Jimly.
Pakar hukum tata negara ini mengatakan, yang penting konsistensi dan konsekuensi dari pilihan. Kalau dikatakan bukan pemilu penyelenggaranya juga tidak boleh KPU, tapi kalau pemilu, maka KPU lah yang menyelenggarakan. Sedangkan perselisihan terkait hasil Pemilukada tetap harus di MK. Pembentuk UU punya kewenangan untuk mengatur hal itu, dan MK tidak boleh menolak karena UU hanya mengatur mengenai pelaksanaan perselisihan hasil pemilukada.
"Jadi Mk tidak boleh melepas beban hanya gara-gara kasusnya Akil Mochtar, tidak boleh begitu. MK itu lembaga yang mahal kita dirikan dengan segala kewenangannya. Kalau perkaranya cuma seratus dua ratus per tahun itu terlalu mewah," pungkasnya. (MAD/BHD)
Bagikan
Berita Terkait
KPU Tunggu Aturan Baru dari DPR dan Pemerintah Terkait Putusan MK tentang Jadwal Pemilu dan Pilkada

Banyak Kepala Daerah Terjerat Korupsi, Komisi II DPR: Pilkada Harus Lewat DPRD

Partai Buruh Dukung Pemisahan Pemilu dan Pilkada, Putusan MK Mengikat

Partai Tengah Lagi Bikin Strategi Simulasi Pemilu dan Pilkada

Cak Imin Usul Pilkada Dipilih DPRD, Komisi II DPR: Sesuai Koridor Konstitusi

24 Daerah Laksanakan Pemungutan Suara Ulang Pada Agustus 2025

KPU Minta Jeda Waktu Pilkada Jangan Sampai Bikin Panitia Pemilu 'Enggak Bisa Napas'

MK Tidak Terima Gugatan Sengketa Hasil Rekapitulasi Ulang Pilkada Kabupaten Puncak Jaya 2024

Ketua Komisi II DPR Sepakat Pemilu dan Pilkada Dilakukan Pada Tahun Berbeda, Bisa Pilkada Dilakukan Tidak Langsung

9 Daerah Gelar PSU 16 dan 19 April 2025, KPU Takut Dihantam Cuaca Buruk
