Respons Pernyataan Sri Mulyani, Legislator PKB: Pajak dan Zakat Tidak Bisa Disamakan Sepenuhnya
Arsip - Menteri Keuangan Sri Mulyani. (Foto: Instagram/@smindrawati)
MerahPutih.com - Anggota Komisi XI DPR RI, Hasanuddin Wahid dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), menanggapi pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang menyamakan pajak dengan zakat.
Menurutnya, menyamakan dua hal tersebut secara mutlak berpotensi menimbulkan kesalahpahaman konseptual dan kebijakan yang tidak tepat dalam konteks tata kelola keuangan negara dan keadilan sosial.
"Zakat adalah kewajiban religius bagi umat Islam dengan dimensi spiritual dan sosial, sementara pajak adalah kewajiban negara atas dasar hukum positif. Keduanya memang memiliki titik temu dalam aspek redistribusi, tetapi tidak bisa disamakan secara menyeluruh," tegasnya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis (14/8).
Politikus yang karib disapa Cak Udin ini menekankan bahwa dalam sistem negara modern, pungutan pajak merupakan kontribusi yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, yang hasilnya digunakan untuk pembiayaan negara tanpa dikaitkan langsung pada asas spiritualitas.
Sementara zakat, walaupun juga mengandung unsur keadilan distributif, bersumber dari keyakinan dan perintah agama, serta memiliki mekanisme pengelolaan yang khusus, seperti mustahik (penerima zakat) dan amil (pengelola zakat).
Baca juga:
Celios Desak Negara Tinjau Ulang Insentif Pajak, Selama Ini Lebih Untungkan Konglemerat
"Zakat itu bersumber dari iman dan niat suci, sedangkan pajak bersumber dari otoritas negara. Maka narasi yang menyamakan keduanya bisa menyesatkan arah kebijakan, apalagi jika digunakan untuk membenarkan beban pajak yang terus meningkat," ujar Sekjen DPP PKB tersebut.
Cak Udin juga memberikan argumen penting bahwa pajak, sebagai instrumen fiskal negara, tidak bisa diberlakukan secara seragam tanpa mempertimbangkan kondisi ekonomi warga negara. Berbeda dengan zakat yang hanya diwajibkan bagi mereka yang telah memenuhi nisab (ambang batas kepemilikan harta), pajak sering kali diberlakukan tanpa pembeda yang adil terhadap kelompok rentan atau pelaku UMKM.
"Zakat memiliki prinsip proporsionalitas dan keadilan berbasis kemampuan. Pajak seharusnya juga demikian. Jangan sampai rakyat kecil dibebani pajak seperti kelompok konglomerat. Prinsip keadilan sosial harus menjadi pijakan utama," tegasnya.
Cak Udin mendorong agar pemerintah lebih hati-hati dalam membuat analogi publik yang berkaitan dengan keuangan umat. Ia berharap Kementerian Keuangan memperkuat literasi fiskal dengan pendekatan yang lebih sensitif terhadap konteks sosial, ekonomi, dan religius masyarakat Indonesia.
"Saya menghormati upaya Ibu Menkeu dalam mengelola keuangan negara, tapi kita harus hati-hati dalam menyampaikan narasi yang bisa menimbulkan bias. Pajak dan zakat adalah dua sistem yang berbeda meskipun tujuannya bisa saling melengkapi. Negara harus menjamin keadilan fiskal dan spiritual dalam bingkai yang saling menghormati," tutupnya. (Pon)
Bagikan
Ponco Sulaksono
Berita Terkait
Pedagang Thrifting Minta Legalisasi, Menkeu Purbaya: Bukan Soal Bayar Pajak, Melainkan Kepatuhan Aturan
Rhoma Irama di RDPU Baleg DPR: Indonesia Kaya Seni, Tapi Pemerintah Belum Hadir Optimal
Badan Legislasi DPR Rapat dengan Raja Dangdut Rhoma Irama, Bahas Revisi UU Hak Cipta
Gunung Semeru Erupsi, DPR Minta Pemerintah Gerak Cepat Kurangi Risiko Bencana
KPK Harap KUHAP Baru tak Ubah Kewenangannya dalam Memberantas Korupsi
Koalisi Sipil Kritik Pengesahan RUU KUHAP, Dinilai Manipulatif dan Pasal Rentan Kriminalisasi
Tanggapi Ramai Hoaks KUHAP, Ketua Komisi III DPR Tegaskan Tugasnya untuk Meluruskan
Dikritik Warganet, DPR Minta Danantara Perbaiki Website dan Tingkatkan Keterbukaan Publik
26 Warga Diduga Tertimbun Longsor di Banjarnegara, DPR Perintahkan Optimalkan Pencarian
Amnesty International Ungkap Deretan Pasal Bermasalah di KUHAP Baru, Ada Potensi Penyalahgunaan Wewenang