Permendikbudristek 30/2021 Dinilai Bikin Hak Berpikir Mahasiswa dan Mahasiswi Sama

Praktisi hukum, Yosep Parera (Antaranews)
MerahPutih.com - Permendikbudristek No.30 Tahun 2021 tengah menuai pro kontra. Sejumlah pihak menolak keberadaan Permendikbudristek karena dianggap melegalkan hubungan seksual di luar pernikahan.
Untuk menghindari lebih jauh polemik tentang Permendikbudristek itu, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim diminta mendengarkan masukan tokoh agama dan ulama.
Baca Juga
Pandangan Wakil Ketua Komnas HAM Terkait Permendikbudristek No 30 /2021
Menurut Praktisi hukum, Yosep Parera, Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 justru menegaskan kesetaraan gender. Sehingga menciptakan keadaan ideal bagi mahasiswa dan mahasiswi di kampus.
"Permendikbudristek ini menciptakan suatu keadaan yang ideal di kampus, antara laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama dalam berpikir, berargumentasi, dan menentukan nasibnya sendiri melalui perasaan serta pikiran," kata Yosep Parera.
Ia menyampaikan hal tersebut dalam webinar nasional bertajuk Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual terhadap Perempuan di Indonesia yang disiarkan secara langsung di kanal YouTube BEMFH UMK, dipantau dari Jakarta, Kamis (25/11).
Di samping itu, Permendikbudristek PPKS juga membuktikan kekerasan seksual dapat pula dialami oleh laki-laki di lingkungan perguruan tinggi.
"Bisa saja laki-laki juga mendapatkan perlakuan kekerasan seksual secara fisik ataupun psikis seksual ketika dia berada di lingkungan kampus," katanya.
Baca Juga
DPR Tegaskan Kuota Zonasi dan Usia di PPDB Tak Sesuai Permendikbud
Ia mengapresiasi pendefinisian kekerasan seksual di dalam Pasal 1 ayat (1) Permendikbudristek PPKS yang tidak hanya mengatur kekerasan secara fisik, tetapi juga kekerasan psikis.
Di dalamnya, disebutkan bahwa yang dimaksud kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang.
Perbuatan tersebut terjadi, menurut dia, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender yang dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik, termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilangnya kesempatan melaksanakan pendidikan tinggi dengan aman dan optimal.
Oleh karena itu, segala bentuk penderitaan fisik dan psikis yang dialami oleh mahasiswa atau mahasiswi tergolong dalam kekerasan seksual.
Baca Juga
PKS Sebut Permendikbudristek Buka Celah Pelegalan Kebebasan Seks
"Bukan hanya soal fisik atau menyentuh tanpa persetujuan, ini juga diatur secara psikis. Jadi, misalnya ada perempuan di kampus mengalami ucapan yang merendahkan martabatnya, ketentuan peraturan undang-undang membuat pelaku dapat dikenai sanksi," kata Yosep.
Tidak sampai di sana, pendiri Rumah Pancasila ini juga menilai Permendikbudristek PPKS telah membatasi masyarakat Indonesia, khususnya mereka yang berada di lingkungan perguruan tinggi untuk tidak saling melecehkan antara perempuan dan laki-laki. (Knu)
Bagikan
Joseph Kanugrahan
Berita Terkait
BRIN Hapus Semua Fasilitas Bagi Pimpinan Untuk Efisiensi, Gaji ke-13 dan ke-14 Diharapkan Tetap Dianggarkan

8 Skema Pendanaan Riset Sepanjang Tahun 2024
