Pengamat: Program Deradikalisasi Perlu Diperkuat
Ilustrasi. (Pixabay)
Pengamat politik dan hukum Erdianto Effendi mengatakan pemerintah perlu menggencarkan program deradikalisasi untuk mencegah berkembangnya paham terorisme.
"Program deradikalisasi perlu ditingkatkan dan pemerintah harus merangkul semua kelompok umat beragama dan kelompok golongan masyarakat," kata Erdianto di Pekanbaru, Sabtu (3/6).
Pendapat tersebut disampaikannya terkait permintaan pemerintah kepada DPR RI mempercepat penyelesaian revisi UU Nomor 15 tahun 2013 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Pemerintah ingin ada kewenangan melakukan tindakan hukum atas proses persiapan seorang terduga teroris sebelum melancarkan aksinya sehingga aksi teroris dapat dicegah secara dini.
Ia mengatakan, perlu lebih ditingkatkan tindakan preventif khususnya deradikalisasi.
"Kalaupun tindakan represif, jangan berpikir semua tindakan terhadap pelaku teror harus berujung dengan pemenjaraan model biasa. Terhadap mereka perlu dipikirkan bentuk pemidanaan yang lebih tepat sasaran," katanya.
Menurutnya, bahwa para pelaku teror walaupun secara yuridis dalam hukum nasional dan hukum internasional bukan delik politik, akan tetapi secara teoritis, pelaku teror adalah pelaku delik politik karena mereka meyakini sistem sendiri yang berlainan dengan sistem hukum yang diakui negara.
Oleh karena itu, katanya lagi, pemidanaan terhadap mereka perlu juga dilakukan dengan cara yang luar biasa. Misalnya dengan penanaman nilai agama dan ideologi dengan cara diskusi dan ceramah serta studi yang lebih mendalam.
"Terkait revisi UU Anti Terorisme itu, itu berlebihan karena sekarang saja seseorang yang baru diduga teroris sudah bisa ditindak bahkan jika ada perlawanan bisa ditembak. Namun untuk membuat apa yang selama ini terjadi tidak dianggap sebagai illegal atau minimal tidak punya dasar hukum, maka revisi terkait tindakan tersebut, sah-sah saja," katanya.
Erdianto memandang bahwa jika hal itu diatur dalam Undang-undang, maka kritik bahwa penindakan di awal atau tindakan lain yang secara prinsip melanggar HAM akan tidak lagi menjadi pelanggaran HAM jika diatur dengan Undang-undang.
Semua tindakan upaya paksa harus berdasar Undang-undang sesua prinsip due process of law. Pelanggaran HAM tersebut dibenarkan oleh Undang-undang sehingga menghapus ketercelaan dan kesalahan perbuatan penegak hukum dalam rangka melindungi HAM yang lebih luas.
Sementara itu, pelibatan TNI dalam terorisme justru tidak sejalan dengan spirit reformasi. Tugas keamanan adalah tugas polisi, tugas tentara adalah pertahanan. Namun dalam keadaan tertentu, tentara boleh diperintahkan turut terlibat dengan tanpa mengabaikan prinsip dan fungsi pertahanan oleh militer.
"Jika dianggap sangat perlu, tentara dilibatkan dengan terlebih dahulu memberlakukan keadaan darurat militer, jika situasi serangan teroris sudah sangat berbahaya seperti yang terjadi di Marawi Pilipina saat ini,"katanya.
Sumber: ANTARA
Bagikan
Berita Terkait
Ledakan Terjadi SMAN 72 Jakarta Belum Terindikasi Aksi Terorisme
Polisi Mulai Terpapar Radikalisme, As SDM Kapolri Waspadai Fenomena Polisi Cinta Sunah
Menko Yusril Sebut Pengadilan Militer AS Akan Adili Hambali Bulan Depan
BNPT Minta Ibu Lebih Berperan Tangkis Upaya Kelompok Radikal Rekrut Anak Muda Lewat Game Online
BNPT Cari 8 Korban Bom Kepunton Solo, Biar Segera Dapat Kompensasi Negara
Apa Itu Makar? Ini Penjelasan dan Sejarahnya di Dunia
785 Korban Terorisme Telah Terima Kompensasi Dari Negara, Tertinggi Rp 250 Juta
ASN Kemenag Jadi Tersangka NII, Wamenag Minta Densus 88 Tidak Gegabah Beri Label Teroris
Oknum ASN Ditangkap karena Terlibat Terorisme, Pengamat: Kemenag ‘Lalai’ dalam Tangkal Ideologi Radikal
Oknum ASN Ditangkap karena Terlibat Terorisme, Kementerian Agama janji Berikan Hukuman Berat