Pemerintah Dinilai Belum Punya Jurus Jitu Antisipasi Resesi Dunia


Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti. ANTARA/HO-DPD RI.
MerahPutih.com - Pemerintah diharapkan dapat mengantisipasi ancaman resesi dunia yang diprediksi terjadi tahun depan.
"Saya belum melihat strategi dan langkah-langkah konkret pemerintah dalam menghadapi ancaman krisis atau resesi dunia yang semakin nyata," kata Ketua DPD RI La Nyalla Mattalitti, Jumat (7/10).
Dikatakannya, salah satu indikasi ancaman resesi global adalah kenaikan suku bunga acuan yang ditetapkan bank sentral di seluruh dunia.
Baca Juga:
Jangan Panik Meski Resesi Ekonomi Global Diprediksi Tiba Lebih Awal
Senator asal Jawa Timur itu mengatakan, krisis sovereign debt atau utang negara, khususnya negara-negara berkembang semakin meninggi.
Gejolak harga-harga komoditi pangan dan energi juga semakin tidak terkendali. Gandum yang menjadi komoditas utama food crisis semakin sulit untuk didapat.
Padahal, ancaman bahaya kelaparan karena risiko pangan diprediksi akan terus meningkat pesat di Benua Afrika bagian Timur dan Benua Afrika bagian Barat.
"Saya melihat kegelisahan di tingkat akar rumput. Sebab, kelangkaan pangan di pasar-pasar tradisional hingga saat ini terus berlangsung," tutur La Nyalla.
Berdasarkan Survei terbaru Bloomberg, Indonesia masuk ke dalam negara Asia yang berpotensi mengalami resesi ekonomi. Dari daftar 15 negara Asia yang berpotensi mengalami resesi ekonomi, Indonesia berada di peringkat 14.
Baca Juga:
Resesi Ekonomi Global Diproyeksi Datang Lebih Cepat
Resesi adalah situasi yang terjadi ketika produk domestik bruto (PDB) atau pertumbuhan ekonomi suatu negara negatif selama dua kuartal berturut-turut. Indonesia pernah mengalaminya pada tahun 2020 silam dan risiko ini tidak boleh disepelekan karena dampaknya akan sangat nyata menimpa masyarakat.
"Jika suatu negara mengalami resesi, maka dampaknya ke masyarakat adalah sulitnya memperoleh barang-barang dari sisi keterjangkauan harga karena harga barang melambung tinggi," ujarnya.
Dampak selanjutnya, kata La Nyalla, adalah banyak terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) karena kenaikan harga bahan baku pada tingkat produsen.
Di sisi lain, permintaan atau konsumsi dari masyarakat akan menurun, sehingga terjadi penurunan omzet.
"Hal ini mengakibatkan perusahaan akan menekan biaya produksi dengan cara menekan biaya upah tenaga kerja dan menghentikan sementara serapan tenaga kerja. (Pon)
Baca Juga:
Sandiaga Minta Tambahan Modal Bagi Sektor Wisata Hadapi Potensi Resesi
Bagikan
Berita Terkait
Ekonom Sebut Indonesia Belum Berada di Situasi Krisis Ekonomi, Ingatkan Risiko Burden Sharing Bisa Sebabkan Hyperinflasi seperti Era Soekarno

Omzet Mal Anjlok Imbas Demo di Jakarta, Pemprov DKI Segera Lakukan Langkah ini

Langkah Konkret Yang Bisa Diambil Pemerintah Saat Rakyat Demo, Salah Satunya Turunkan Pajak Jadi 8 Persen

Ekonomi Indonesia Diklaim di Jalur yang Benar, Menko Airlangga Minta Pengusaha dan Investor tak Panik

DPR-Pemerintah Sepakati Asumsi RAPBN 2026, Suku Bunga dan Rupiah Jadi Kunci Pertumbuhan Ekonomi?

Ekspansi Belanja Pemerintah Bakal Bikin Ekonomi Membaik di Semester II 2025

Prabowo Berencana Tarik Utang Rp 781,87 Triliun di 2026, Jadi yang Tertinggi setelah Pandemi

Riset Prasasti: ICOR Ekonomi Digital 4,3, Dinilai Lebih Efisien Dibanding 17 Sektor Lain

Bank Indonesia Bongkar Rahasia Mengapa Ekonomi Jakarta Melaju Kencang di Kuartal III 2025

Prabowo Sentil Pemain Ekonomi Cari Keuntungan Tanpa Peduli Rakyat, PKB: Penerapan Pasal 33 Harus Tegas dan Konsisten
