Paperback, Revolusi Buku Murah Anti-Sobek
ALLEN Lane, seorang direktur penerbit ternama The Bodley Head, stres berat. Perusahaan penerbit buku bermutu tinggi selaik karya-karya H.G. Wells, Aubrey Beardsley dan Oscar Wilde di tahun 1900-an tersebut, nyaris gulung tikar karena terus merugi selama masa depresi ekonomi.
Dia mewarisi perusahaan itu dari tangan pamannya pada 1930-an. Lane harus berpikir keras untuk dapat mengembalikan kejayaan penerbitannya.
Saat berada di stasiun Exeter menunggu kereta kembali ke London, dia melihat-lihat toko mencari buku bagus untuk dibaca. Lane melihat sebuah majalah trendi dengan jenis kertas pulp bermutu rendah. “Ia pun berpikir: Bagaimana jika buku berkualitas tersedia di tempat-tempat seperti stasiun kereta api dan dijual dengan harga terjangkau, harga satu pak rokok,” seperti dilansir dari laman www.smithsonianmag.com.
Lane bersikeras agar ide membuat paperback mewujud. Tapi, rekan-rekannya sesama redaktur masih menimbang ulang usaha kerasnya, karena si empunya ide paling tidak harus menjual 18.000 buku dari setiap judul agar bisa mendatangkan laba.
Perusahaan media cetak pun hanya memberi sambutan dingin terhadap ide Lane. Bahkan penulis kenamaan George Orwell menyatakan paperback hanya akan merugikan penjualan buku dan penulis.
Lane mendapati jalan buntu. Dia harus berpikir keras. Dengan kocek pribadi, Lane kemudian membuat penerbitan sendiri mengambil nama Penguin.
Tak disangka, paperback laku keras sejak kali pertama terbit. Buku-buku murah itu bukan hanya dijual di toko-toko buku, melainkan pula di toserba macam Woolworths.
Di Toserba Selfridges, meski menjual barang-barang premium, paperback tetap laku terjual. Pada hari pertama penjualan seluruh persediaan habis sejak pagi hari.
Buku-buku murah kali pertama itu, seperti ditulis majalah Intisari edisi Mei 1986, antara lain A Farewell to Arms karangan Ernest Hemmingway, biografi Penyair Shelley karangan André Maurois dan cerita-cerita detektif tulisan Agatha Christie serta Dorothy Sayers.
“Paperbacks Lane murah. Biayanya dua setengah sen, sama dengan sepuluh batang rokok, penerbitnya dipuji," dilansir dari laman www.smithsonianmag.com.
Hanya tempo empat bulan, sejuta paperback ludes terjual. Para penulis tersohor pun meminta agar buku-buku mereka ‘dipenguinkan’, meski uang mukanya kecil. Bahkan penulis drama George Bernard Shaw juga menawarkan buku barunya kepada Allen Lane.
Penguin akhirnya mulai menerbitkan buku-buku non-fiksi dalam paperback, seperti The Intelligent Woman’s Guide to Socialism. Buku paperback sebenarnya sudah muncul di Eropa sebelum Lane, dikenal seri Tauchnitz dan Albatross, tetapi pengaruhnya tidak sebesar aksi paperback modern seperti dilancarkan Penguin.(*) Achmad Sentot
Bagikan
Yudi Anugrah Nugroho
Berita Terkait
Jakarta International Literary Festival 2025 Resmi Dibuka, Angkat Tema 'Homeland in Our Bodies'
Game Online Bakal Dibatasi, DPR Desak Literasi Digital Bagi Pelajar Diperkuat
Warga Berburu Buku Murah dalam Ajang Festival Literasi Jakarta 2025 di Jakarta
UOB My Digital Space Bekali 90 Ribu Pelajar Indonesia dengan Keterampilan Digital, Gandeng Ruangguru sebagai Mitra
Cegah Anak Kecanduan Ponsel, Masjid-Masjid di Jakarta Bikin Pojok Baca
Gerakan Literasi Masyarakat (GELIAT) Tanamkan Budaya Literasi pada Anak-Anak
Perpusnas Writers Festival Bangkitkan Literasi di Kota Bandung
Banggar DPR Sebut OJK Perlu Tingkatkan Literasi Keuangan Waspadai Pinjol Ilegal