Pandemi Bikin Wisata Virtual Jadi Tantangan Baru


Wisata virtual semakin marak terjadi. (Foto: Unsplash/Jessica Lewis)
PANDEMI COVID-19 yang masuk ke Indonesia sejak Maret 2020 membuat beberapa sektor dirugikan, mulai dari perfilman, bisnis, hingga industri pariwisata. Karena pandemi juga, kita dituntut untuk serba digital dan menciptakan sebuah pengalaman baru.
Sama halnya dengan pembatasan dan pelarangan perjalanan yang telah menciptakan destinasi baru dalam industri pariwisata, yakni wisata virtual. Istilah ini disebut juga dengan virtual tourism, tujuan wisata baru yang menggabungkan gagasan dan teknologi virtual reality (VR) dengan pariwisata.
Dalam industri pariwisata, awalnya VR banyak digunakan sebagai perangkat promosi. Beberapa organisasi manajemen destinasi, operator tur, dan atraksi-atraksi turis telah menggunakan VR sebagai sarana promosi, sembari berharap cara ini akan memikat wisatawan.
Di fase berikutnya, cara baru berwisata ini berkembang menjadi sarana untuk meningkatkan pengalaman baru turis dalam berwisata. Mulai dari pengenalan wahan 5D di taman hiburan, hingga aktivitas sensori yang diimplementasikan di museum.
Baca juga:

Kini dengan adanya pandemi COVID-19, wisata virtual dengan teknologi VR semakin beranjak ke fase lebih tinggi lagi. Pengalaman ini bahkan memungkinkanmu melakukan petualangan mustahil. Orang yang tidak punya cukup uang untuk terbang ke Italia secara fisik misalnya, sekarang bisa mengunjungi menara Pisa dari sofa di rumahnya.
Berbicara soal tren baru, pasti ada saja kelebihan dan kekurangannya. Kita tidak perlu khawatir dengan perkembangan pesat wisata virtual meskipun tetap harus diantisipasi dengan baik oleh pelaku industri dalam negeri.
Wisata virtual membuat dampak positif bagi lingkungan lantaran mengurangi dampak buruk akibat emisi CO2. Pasalnya, orang-orang tidak perlu lagi naik pesawat atau kendaraan umum untuk mencapai tujuan wisata. Pengalaman virtual yang ditawarkan juga menyediakan kebebasan dan fleksibilitas lebih dibanding tur fisik.
Kamu bisa pergi ke Afrika menikmati wisata safari alam dalam “sekejap” tanpa harus beranjak dari sofa dengan tetap mengenakan piyama. Selain biayanya yang murah, wisata virtual juga diyakini banyak kalangan akan menjadi stimulus tur fisik. Jadi tidak akan serta merta “mematikan” wisata fisik tapi justru mendorong orang mengunjungi tempat tertentu.
Baca juga:

Perlu dicatat pula, wisata virtual sejauh ini tidak bisa diakses oleh semua orang karena masalah akses ke perangkat digital dan koneksi internet yang memadai. Dengan kenyataan bahwa benefit ekonomi adalah alasan utama pariwisata dikembangkan di banyak wilayah, maka banyak negara tetap mendorong wisata fisik untuk menghasilkan banyak manfaat ekonomi.
Interaksi sosial dalam wisata virtual pun terbatas. Meski teknologi berkembang, interaksi fisik tetap tidak tergantikan secara sempurna oleh teknologi. Beranjak dari kelebihan dan kekurangan, pelaku industri pariwisata di Indonesia hendaknya tetap optimistis bahwa teknologi akan menjadi pelengkap yang menguntungkan bagi semua pihak. (and)
Baca juga:
Bagikan
Andreas Pranatalta
Berita Terkait
Aji Mumpung Banget ini, Seoul Tawarkan Paket Wisata dengan Kelas Tari 'KPop Demon Hunters'

Airbnb & SEVENTEEN Hadirkan Pengalaman Eksklusif di Seoul, LA, dan Tokyo, Bikin Pengalaman tak hanya Konser Biasa

Cara Ramah Pulau Jeju Ingatkan Wisatawan yang Bertingkah, tak ada Hukuman

PSI Tolak Rencana Pramono Buka Ragunan hingga Malam Hari, Pertanyakan Kesiapan Fasilitas

Penyegelan Pulau Reklamasi di Perairan Gili Gede Lombok Tunggu Hasil Observasi Lapangan

Serba-serbi Gunung Tambora, Pesona Jantung Konservasi Alam Khas Indonesia Timur

Korea Utara Buka Resor Pantai Baru demi Cuan di Tengah Sanksi Ketat

Tidak Perlu Ribet Isi Berbagai Aplikasi Pulang Dari Luar Negeri, Tinggal Isi ALL Indonesia

Dibekali Kemampuan Bahasa Asing, Personel Satpol PP DKI Jakarta Dikerahkan ke Kawasan Wisata dan Hiburan

Menelusuri Jakarta Premium Outlets, Ruang Belanja Baru yang Mengusung Keberlanjutan dan Inklusi
