Ketika Semua Kasta Menyatu dalam Obrolan Santai di Angkringan
Angkringan, tempat nongkrong semua kalangan. (Foto: MP/Widi Hatmoko)
JALAN-jalan ke Yogyakarta belum afdol rasanya jika belum makan di angkringan. Bagi masyarakat Yogyakarta angkringan bukan sekedar tempat nongkrong mengenyangkan perut semata.
Angkringan menjadi tempat ngumpul sambung rasa untuk mengobrol santai tanpa memandang status sosial. Semua orang mulai dari muda, tua, kaya, miskin, pejabat, rakyat jelata menyatu dalam obrolan santai di angkringan.
Baca juga:
Tidak ada jarak antar individu yang berbeda kasta. Yang ada adalah rasa guyub (kekeluargaan) walau tak saling mengenal. Hingga ada istilah "mangan ora mangan sing penting ngumpul nang angkringan".
Saat makan di angkringan, jangan heran jika ada yang menyapa atau mengajak ngobrol kita seolah sudah mengenal lama. Topik obrolan beragam, mulai dari yang ringan, remeh temeh hingga diskusi berat seperti politik, sosial dan budaya. Tak heran ada istilah ngobrol ngalor ngidul neng angkringan.
Menariknya, hanya sedikit yang tahu angkringan diciptakan oleh seorang warga Desa Ngerangan Klaten, Jawa Tengah bernama Karso Dikromo.
Awal mulanya Karso yang biasa dipanggil Jukut berjualan makanan terikan dengan pikulan bambu. Terikan adalah makanan khas dari Jawa Tengah berupa nasi dengan kuah kental dan lauk tempe atau daging. Jukut menyebut tempat dagangannya Warung Hik. Ia menjajakan dagangannya di daerah Solo Jawa Tengah sekitar tahun 1930an.
Baca juga:
Selain terikan adapula makanan jadah bakar, singkong, getuk, kacang, dan aneka sate seperti sate usus, telur, ati ampla dan sate keong. Lambat laun, Jukut berinovasi. Ia juga menjual beragam minuman sederhana. Seperti teh, wedangan dan kopi hitam. Ia juga menciptakan nasi kucing yang kini menjadi makanan paling populer di angkringan.
Tahun 1940, Warung Kik mulai populer di masyarakat Solo. Kemudian menyebar ke wilayah Yogyakarta pada tahun 1950. Di sinilah muncul nama Angkringan. Selain angkringan, sebutan lainnya dari Yogyakarta adalah wedangan, warung koboi, dan sego kucing.
Para pedagang angkringan juga memodifikasi bambu pikul menjadi gerobak agar memudahkan pembeli makan di tempat. Penggunaan gerobak juga membuat praktis penjual dan menghindari air panas tumpah mengenai penjual.
Angkringan pun langsung populer di masyarakat Yogyakarta karena harganya yang murah dan tempatnya yang merakyat.
Dari Yogyakarta inilah angkringan kemudian menyebar luas ke seluruh Indonesia. Lantaran banyak pendatang dari berbagai macam suku tinggal di Yogyakarta.
Menu favorit di angkringan adalah nasi kucing yakni nasi dengan lauk tempe orek atau teri pedas yang dibungkus dengan daun pisang. Satu porsi nasi kucing dibandrol mulai dari Rp2.000 hingga Rp4.000 per porsi. Ada juga nasi goreng mie goreng dan mie rebus.
Seporsinya dijual mulai dari Rp8.000 hingga Rp10.000. Sementara lauknya terdiri dari beragam jenis sate, tempe dan tahu goreng serta telur dan bakso. Untuk minuman yang ada seperti teh, wedhangan susu dan kopi hitam.
Bagi warga luar Yogyakarta angkringan hanyalah sekedar tempat mencicipi nasi kucing dan wedangan. Namun bagi warga Yogyakarta angkringan selalu menghadirkan rindu untuk kembali ke kampung halaman. (Teresa Ika/Yogyakarta)
Baca juga:
Bagikan
Berita Terkait
10 Kuliner Khas Kudus yang Wajib Dicoba, dari Soto Kerbau hingga Gethuk Nyimut
Tahok dan Bubur Samin Solo Jadi Warisan Budaya tak Benda
Jepang Selamat dari Ancaman Kekurangan Bir, Perusahaan Asahi kembali Berproduksi setelah Serangan Siber
Deretan Acara Café Brasserie Expo 2025, Pilihan Terbaik Bagi Para Pencinta F&B
Coco Series dari Roemah Koffie Dikenalkan di Athena, Membawa Ciri Khas Tropis
Ahhh-fterwork Hadirkan Perjalanan Multisensori nan Penuh Petualangan, Ditutup Sesi Omakase Memanjakan Lidah
Remaja China Kencingi Kuah Hotpot, Diharuskan Ganti Rugi Rp 4,7 Miliar
'Demon Slayer: Infinity Castle' Jadi Inspirasi Kolaborasi Menu Minuman Eksklusif
Jeritan UMKM di District Blok M, Harga Sewa Naik Langsung Bikin Tenant Cabut
Menemukan Ketenangan dan Cita Rasa Bali di Element by Westin Ubud, Momen Sederhana Jadi Istimewa