Para Jago nan Digdaya di Masa Revolusi Kemerdekaan Indonesia


Haji Darip bersama kedua anaknya. (Foto: YouTube/Video Sejarah Langka)
SI Pitung, Haji Darip, Imam Sjafe’I, hingga Entong Tolo ialah nama-nama yang mungkin kurang populer di masa kini. Nama besar mereka hanya diketahui beberapa orang. Namun, siapa sangka, keberanian, tekad, serta penguasaan yang mereka lakukan membuat mereka dikenang sebagai para jago dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Sejak masa kolonial, Jakarta menempati kedudukan penting baik sebagai pusat pemerintahan maupun perdagangan. Jakarta juga dikenal sebagai kota perjuangan, banyak pejuang baik yang dikenal maupun tak dikenal lahir dari kota ini selama masa perjuangan melawan kekuasaan asing. Para pejuang Jakarta dari beragam kesatuan bahu-mmebahu menyerang berbagai tempat strategis atau tentara musuh di banyak lokasi di kota ini.
Salah satu lokasi pertempuran sengit terjadi di wilayah Senen, suatu tempat yang strategis karena menjadi pusat aktivitas ekonomi warga Jakarta. Di Senen, anggota laska dengan berbagai cara menyerang pergerakan tentara Belanda yang bermarkas di sekitar wilayah ini. Pertempuran sengit juga terjadi di pinggiran Jakarta atau sekitar Klender (Jakarta Timur).
Baca juga:

Wilayah ini menjadi salah satu pusat laskar sekaligus menjadi pintu masuk menuju Jakarta. Salah seorang tokoh lokal di balik aksi perjuangan di Senen ialah Imam Sjafe’I, sedangkan di Kelnder ada Haji Darip. Kedua tokoh itu, pada pascarevolusi, menempati kedudukan terhormat di mata masyarkat Jakarta atau tempat mereka pernah berjuang.
Selain kedua tokoh tersebut, ada juga tokoh lain seperti Tjitra asal Banten atau Lagoa asal Bugis yang dipandang sebagai tokoh di lingkungan warga Tanjung Priok, khususnya di kalangan buruh Pelabuhan Tanjung Priok.
Mengutip tesis Jagoan Jakarta dan Penguasaan di Perkotaan 1950-1966 karya Muhammad Fauzi, jagoan menjadi istilah yang diberikan warga Jakarta kepada pelaku kejahatan atau mereka yang berkecimpung dalam ‘dunia bawah tanah’. Dalam kosa kata bahasa Indonesia, ‘dunia bawah’ ini disebut sebagai ‘dunia hitam’ yaitu lingkungan kehidupan yang bertentangan dengan norma hukum yang berlaku.
Di masa kolonial, para jurnalis meyebut jagoan dengan berbagai istilah tukang copet, tukang cungo, cinteng, pemeres, atau tukang sebrot.
Lain jagoan, lain pula istilah jagi. Bagi mereka, jago dianggap bermakna positif jika dibandingkan dengan jagoan. Jago jauh dari kriminalitas atau tindakan kejahatan yang lebih umum untuk menyebut golongan tukang pukul dalam masyarakat Indonesia. Jagoan juga merupakan orang kuat setempat baik secara fisik maupun spiritual dan dikenal sebagai orang kebal.
Dengan demikian, peran dan kontribusi jagoan dalam sejarah Indonesia tampaknya memang tidak dapat diabaikan. Pada 1966 misalnya, peran jagoan tetap penting dalam transisi kekuasaan paling berdarah dalam sejarah Indonesia modern. Pada waktu itu, Letkol Imam Sjafe’i atau dikenal dengan Bang Pi’I seorang jagi terkemuka ditetapkan Presiden Soekarno sebagai Menteri Negara Urusan Pengamanan.
Baca juga:

Pengangkatan Pi’i memiliki arti penting jika melihat pengaruh dirinya di kalangan jagoan Jakarta atau ‘dunia bawah’. Ia dikenal sebagai ‘Robin Hood daerah Senen’, sementara para lawan politik Soekarno menyebut Pi’i sebagai ‘menteri copet’. Meskipun Presiden Soekarno terkesan irasionalitas dalam pemilihan ini yaitu mengangkat seorang jagoan Senen masuk ke jajaran kabinetnya, pilihan terhadap Pi’I dapat dipahami jika melihat karier Pi’i sebagai seorang eks jagoan pejuang.
Popularitas Pi’I sebagai jagoan Senen ditempatkan dalam deretan nama-nama jagoan seperti Bang Puase, si Pitung, Haji Ung, Entong Gendut, Mat Djaelani, hingga Bir Ali. Foto Pi’i banyak terpampang di tempat usaha dan toko-toko untuk menghindari gangguan atau terbebas dari jagoan lain terhadap para usahawan atau peadagang di wilayah kekusaannya.
Selain itu juga ada Haji Darip dengan organisasi BARA-nya (Barisan Rakyat). Di bawah pimpinannya, BARA yang dibantu oleh rakyat setempat menjadi barisan kekuatan yang cukup sulit dikalahkan oleh mmusuh. Seperti yang terbukti dalam pertempuran melawan pasukan Inggris/India di Klender pada 13 Oktober 1945.
Pertempuran itu terjadi karena pasukan Inggris/India marah ketika melihat pasukan BARA mengadakan barikade di jalan dan ingin mengusirnya dengan cara kekerasan.
BARA dan rakyat Klender merasa terhina dengan perbuatan pasukan asing dan mereka kemudian membalasnya dengan kekerasan juga. Hingga pada akhirnya pasukan Inggris/India tidak sanggup menghadapi kekuatan barisan pejuang rakyat Klender dan terpaksa mundur ke tangsinya.
Pertahanan rakyat Klender pada saat itu dibekali oleh senjata tradisional, seperti golok, bambu runcing, parang, dan kekuatan fisik. Mereka juga memiliki senjata modern seperti pistol, senapan, dan granat dari hasil melucuti tentara-tentara Jepang ketika melakukan penyerbuan ke tangsi-tangsi mereka di Pangkalan Jati, Pondok Gede, dan Cipinang Cimpedak.

Penggambaran Pitung yang bernama asli Salihoen sebagai jago budiman agaknya baru berkembang setelah Indonesia merdeka. Sebagian besar citranya di masa kini dibentuk oleh cerita lisan turun-temurun, bacaan pop, dan film. Penggambaran si Pitung sebagai sosok Robin Hood terutama muncul dari penulis Jakarta Lukman Karmani.
Pada akhir 1960-an, ia membuat cerita si Pitung secara tertulis dan menampilkan aspek-asppek sosial etnis dalam cerita itu. Pitung adalah jenis jago yang paling terkenal di akhir abad ke-19. Aksi-aksinya mengisi halaman berita di harian Hindia Olanda pada medio 1982. Menurut berita-berita itu, Pitung dan sekondannya yang bernama Dji-ih kerap bikin repot polisi kolonial, mereka memang sempat tertangkap polisi, tapi kemudian meloloskan diri.
Selain Pitung, ada juga tokoh garong lainnya yakni Entong Tolo dan Entong Gendut. Entong Tolo adalah pencuri ternak dari Pondok Gede dan mukim di Jatinegara. Meskipun sering membuat aksi kriminal, Entong Tolo suka membantu petani yang tidak mampu membayar pajak. Ia dikabarkan tertangkap pada 1908 dan kemudian diasingkan ke Manado.
Sementara Entong Gendut yang berasal dari Pasar Rebo, dikenal karena terang-terangan menentang pajak. Namanya masuk pemberitaan saat bertikai dengan warga Belanda di Jatinegara pada 1916.
Bagi jagoan, pengalaman perjuangan di masa revolusi merupakan pengalaman baru yang harus dijalani. Berbagai kesatuan bersenjata di berbagai daerah dibentuk untunk menyambut kedatangan pasukan Belanda bersama Sekutu yang akan menguasai kembali Republik Indonesia. Jagoan ada di setiap daerah, termasuk di Jakarta, dan membentuk laskar sendiri pada masa itu.
Revolulsi Indonesia bukan hanya hasil kerja keras dan pengorbanan para elit dan militer saja, tetapi juga merupakan jerih payah dan perjuangan para jagoan, pelacur, atau orang-orang yang terpinggirkan dan dipandang rendah.
Itulah sekelumit peran jagoan dalam revolusi Indonesia. Historiografi jagoan seolah tenggelam dalam seluruh jalinan kisah tentang masa itu. Di masa revolusi, memang tidak semua jagoan adalah pejuang, atau sebaliknya. Ada pejuang yang sungguh-sungguh berjuang, atau jagoan yang memang melakukan tindakan kriminal selama masa revolusi. (and)
Baca juga:
Bagikan
Andreas Pranatalta
Berita Terkait
Pameran Foto '1945' Resmi Dibuka di Monumen Pers Nasional, Tampilkan Jejak Sejarah Kemerdekaan Indonesia

Ribuan Orang Ikut Merdeka Run 8.0K, Ini Rute Dari Istana Balik ke Istana

Adidas Indonesia Rayakan Keberagaman Lewat FW25 Island Series Indonesia Graphic Tees, Bawa Semangat ‘Satu Nusa Satu Bangsa’

Bersama Indonesia Rayakan HUT Ke-80, Mattel Rilis Boneka Barbie One-of-a-Kind, Tampilan Anggun Bergaun Batik

Sepanjang Perayaan HUT RI di Jakarta, 7,2 Ton Garam Ditabur di Langit Kendalikan Cuaca Ektrem

Saat Libur Peringatan HUT ke-80 RI, Daop 6 Yogyakarta Alami Kenaikan Penumpang 5,5 Persen

Puluhan Eks Karyawan Sritex Upacara di Depan Pabrik, Serukan Tuntutan Pembayaran Pesangon

375 Ribu Napi Dapat Remisi saat HUT ke-80 RI, Negara Hemat Pengeluaran untuk Uang Makan Sampai Rp 639 Miliar

Libur HUT ke-80 RI, Tingkat Okupansi Penumpang Kereta Api Jarak Jauh Capai 85 Persen

Boris Bokir Sampai Danilla Riyadi Ikut Upacara Penurunan Bendera di Tugu Proklamasi, Usung Tema 'Titik Nol Bangsa'
