Greenwashing pada Produk Kecantikan


60 persen konsumen di seluruh dunia menilai keberlanjutan sebagai kriteria pembelian yang penting. (Foto: Pexels/Alena Koval)
“NATURAL ingredients only,” begitu tulisan dalam poster pemasaran produk skincare. Inilah kecap nomor satu paling booming untuk produk skincare zaman kiwari.
Melihat tulisan begitu, mata siapa tak berbinar-binar? Tanpa berpikir panjang, mungkin kamu langsung bersedia menggesek kartu kredit atau debitmu.
Data Simon Kucher's Global Sustainability Study 2021 menunjukkan bahwa 60 persen konsumen di seluruh dunia menilai isu keberlanjutan menjadi kriteria pembelian yang penting. 35 persen lainnya bersedia membayar lebih untuk produk atau layanan yang berkelanjutan.
Perubahan perilaku dan kesadaran konsumen terhadap keberlanjutan lingkungan mendorong jenama produk kecantikan untuk menjadikan lingkungan sebagai jurus jualan atau kecap utama. Salah satu aksi yang sering dilakukan adalah beralih dari plastik sekali pakai dan virgin plastics.
Baca juga:

Selain itu, jenama produk kecantikan juga menyediakan kemasan yang dapat didaur ulang, dapat digunakan kembali, dan dapat diisi ulang. Tak sampai di sini, mereka juga menawarkan lebih banyak transparansi seputar bahan produk sehingga pelanggan dapat memastikan seberapa "hijau" produk mereka.
Meskipun begitu, konsumen masih kesulitan memahami jaminan keberlanjutan dari banyak produk. Menurut British Beauty Council, ini karena upaya industri kecantikan tidak konsisten dan gagal memberikan dampak yang dapat dikenali. Contohnya tidak ada penetapan tujuan bersama, strategi global, dan peraturan standar.
Ini juga dibuktikan dari tidak adanya standar internasional untuk industri kecantikan tentang berapa banyak informasi mengenai bahan produk seharusnya dibagikan kepada pelanggan.
Baca juga:

Tiap jenama dapat menetapkan aturan dan tujuan mereka sendiri sehingga seringkali menimbulkan kebingungan dan “greenwashing”. Menurut Merriam Webster, greenwashing adalah tindakan atau praktik membuat produk, kebijakan, aktivitas, dan sejenisnya sehingga tampak lebih ramah lingkungan atau kurang merusak lingkungan daripada yang sebenarnya.
Dalam kata lain, klaim sustainability sering digembar-gemborkan, tetapi tidak bisa dibuktikan.
Perusahaan sering menggunakan kecap pemasaran seperti “clean beauty” untuk membuat seolah-olah produk mereka alami, padahal produk tersebut sebenarnya tidak organik, sustainable, atau dibuat secara etis.
“Bahan organik vs sintetis telah menjadi perbincangan. Orang berpikir alami lebih aman, tetapi tidak selalu demikian. Bahan alami yang diformulasikan dalam industri dapat memiliki kandungan racun. Logam berat bisa terdapat dalam komponen alami bumi,” kata Jen Lee, Chief Impact Officer di US-based brand Beautycounter dalam edition.cnn.com
Selain itu, sebagian besar produk kecantikan dibuat pada suhu tinggi, bahan-bahan organik murni sering hancur dalam panas dan menyebabkan hasil yang tidak konsisten, bahkan efektivitas produk di bawah standar. (kmp)
Baca juga:
Bagikan
Hendaru Tri Hanggoro
Berita Terkait
Kamu Juga Bisa Nih, Pakai Perawatan Kulit Harian ala Jennifer Coppen

Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2025, Pemerintah Anugerahkan Kalpataru Lestari untuk Pejuang Hijau

Tren Kecantikan Indonesia Berkembang Pesat, Konsumen Minati Prosedur Noninvasif dengan Teknologi Aman dan Tesertifikasi

Belajar dari Kearifan Lokal, Merawat Bumi Lewat Cara yang Sudah Lama Kita Punya

Jerry Hermawan Lo Kunjungi Pembangkit Listrik Energi Hijau Pertama di Karimun

Benoa Bali Kantongi Predikat Pelabuhan Hijau

BPOM Akan Terbitkan Larangan Influencer Review Produk Kecantikan

Tim D'BASE dari BINUS ASO Siap Bertanding di Shell Eco-marathon Asia-Pacific and the Middle East 2025

10,3 Juta Penumpang Manfaatkan Face Recognition, KAI Kurangi Limbah Kertas

Buka Cabang di BSD, %Arabica Usung Konsep Ramah Lingkungan
