EBT Sulit Berkembang karena Antarinstansi Tidak Kompak


Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Rinaldi Dalimi (ketiga kiri) dalam diskusi "Energi Kita: Prospek Energi Baru di Tengah Pelemahan Ekonomi" di Jakarta, Minggu (29/11). (Foto MerahPutih/Rere)
MerahPutih Bisnis - Indonesia memiliki potensi yang besar untuk mengembangkan Energi Baru Terbarukan (EBT), namun pengembangannya belum optimal. Padahal dalam visi 2025 kebijakan energi nasional adalah berkomitmen untuk meningkatkan penggunaan jenis energi alternatif yang terbarukan dari 7 persen menjadi 23 persen.
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Rinaldi Dalimi mengatakan kesulitan pengembangan EBT ini disebabkan perbedaan proses perencanaan dan perancangan dari masing-masing stakeholder.
"Masalahnya adalah problem statement dari masing-masing stakeholder pembangunan ini tidak sama," katanya dalam acara diskusi Energi Kita bertema "Prospek Energi Baru di Tengah Pelemahan Ekonomi", di Gedung Dewan Pers, jalan Kebon Sirih No 32-34, Jakarta Pusat, Minggu (29/11).
Rinaldi mencontohkan Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) sudah menetapkan feed in tariff atau harga jual yang lebih tinggi dari harga jual PT PLN (Persero). Hal itu dilakukan untuk menarik minat investor berinvestasi di sektor energi di Tanah Air.
"Di satu sisi itu sudah bagus tapi di sisi lain pemerintah menyediakan subsidi untuk melindungi konsumen apabila biaya produksi naik akibat feed in tariff makanya diberikan subsidi," katanya.
Rinaldy melanjutkan, seharusnya produsen dan konsumen tidak ada masalah. Namun begitu rencana subsidi tersebut akan dilaksanakan ada stakeholder lain dalam hal ini Kementerian Keuangan yang mengurangi subsidi.
"Kalau subsidi dikurangi jelas feed in tariff ini tidak bisa diterapkan dan PLN tidak mau beli feed in tariff karena PLN diinstruksikan mengurangi subsidi dan dia (PLN) harus milih energi yang murah risk cost-nya. Dan kalau masih ada energi yang lebih murah, pakai yang lebih murah," jelasnya.
Untuk itu, agar target pengembangan dan penggunaan EBT ini bisa tercapai dia mengusulkan adanya kesamaan problem statement antarkementerian atau instansi terkait.
"Inilah yang harus diperbaiki ke depan. Adanya kesamaan rumusan masalah karena kalau dua-dua masalah ini tidak jadi satu akhirnya jalan sendiri-sendiri," katanya. Selain itu, diperlukan juga adanya kebijakan penyediaan insentif dari pemerintah berupa kebijakan fiskal, subsidi, dan kebijakan invetasi. (rfd)
BACA JUGA:
Bagikan
Berita Terkait
DEN Masih Kaji Strategi Indonesia Antisipasi Dampak AS Keluar Perjanjian Paris

Bioetanol Diyakini Jadi Salah Satu Solusi Turunkan Emisi di 2030

Nuklir, Hidrogen, Amonia Masuk Bahasan RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan

52 PLTU di Indonesia Ditargekan Bisa Gunakan Co-firing di 2025

PLN Dukung Penggunaan EBT di KTT G20
