Bertahan Hidup di Kamp Cideng


Suasana di Kamp Cideng, penjara khusus perempuan dan anak-anak interniran. (KITLV)
"KAMI bangsa Belanda di sini sudah 300 tahun, kami akan di sini 300 tahun lagi."
Begitu jawaban Gubernur Jenderal B. De Jonge ketika ditanya Bruce Lockhart, jurnalis Inggris, pada 1936 tentang kapan Indonesia siap merdeka. De Jonge percaya diri betul bahwa bangsanya superior. Tak bisa dikalahkan oleh siapapun. Apalagi oleh bangsa inlander yang inferior.
Hingga akhirnya bangsa De Jonge kena batunya pada Maret 1942. Hanya tiga bulan setelah kedatangan Jepang di Hindia Belanda sejak Januari 1942, Belanda menyerah kalah ke Jepang. Orang Belanda jadi pariah. Dipites seolah caplak. Diinjak serupa kecoak.
Jepang menyita rumah-rumah orang Belanda di kawasan Tjideng (ejaan baru Cideng-Red), Jakarta. Rumah-rumah itu jadi tempat tahanan bagi perempuan sipil, anak-anak perempuan, dan anak lelaki berusia di bawah 10 tahun dari berbagai bangsa Eropa.
Baca juga:
Bukit Goa Jepang, Kisah Kekejaman Jepang di Lhokseumawe
Mereka disebut interniran. Ditahan di area pagar kawat berduri dua meteran. Penjara seperti ini tersebar di beberapa tempat di Jawa. Bahkan sampai ke luar Indonesia. Yang di luar Indonesia ditujukan untuk personil militer atau aparatur pemerintahan Belanda.
"Dimana mereka dipekerjakan sebagai buruh kasar di berbagai proyek pertahanan di tempat-tempat yang mempunyai nilai strategis militer," urai R.H.A. Saleh dalam Allied Prisoners of War and Internees (A.P.W.I) di Jawa dan Repatriasinya Setelah Perang Berakhir, tesis pada Universitas Indonesia.

Sebagian besar interniran di Kamp Cideng semula menjalani hidup biasa saja sejak masuk sana pada Oktober 1942. Mereka memang berada di bawah pengawasan polisi Jepang (Keimubu), tapi mereka masih boleh manggil babu dan berdagang dengan orang-orang Indonesia. Pokoknya tidur enak, mandi asyik, dan makan lumayan.
Sejak April 1944, Cideng dipegang komandan militer bernama Kenichi Sonei. Kamp Tjideng menjelma neraka tertutup. Sonei menimbun interniran. Satu rumah yang tadinya untuk 10 orang, jadi terisi oleh 50-100 orang. Penghuni kamp naik drastis. Dari ratusan orang, jadi puluhan ribu orang.
"Dia ternyata menjadi seorang tiran terkejam yang pernah dibayangkan orang... Dia tak punya belas kasih setitikpun terhadap perempuan," kata Ralph Ockerse dan Evelijn Blaney, kakak beradik yang pernah tinggal di Kamp Cideng dan menulis buku Our Childhood in the Former Colonial Dutch East Indies.
Interniran apel tiap hari. Pagi sampai siang. Betis pun bengkak. Tapi mereka masih harus nanam pohon jarak. Kalau inteniran ada salah kecil, langsung dirotan, digundul, atau dijemur sampai kulitnya kebakar.
Baca juga:
Sejarah Kelam Kota Tua Jakarta
Interniran tak pernah tidur nyenyak karena himpit-himpitan. Seorang perempuan mantan interniran bercerita, buang air besar pada tengah malam jadi susah karena toilet rumah malah jadi tempat tidur.
Interniran juga mulai jarang mandi lantaran air kotor. Jika mereka nekat mandi, malah gudikan. Namun jika mereka tak mandi, gatal-gatal. Serba salah.
Jatah ransum interniran menciut. Badan jadi kisut. Saking terdesaknya, para ibu rela menangkap hewan apa saja demi keberlangsungan hidup anak-anaknya. "Para perempuan akan menangkap katak, kadal, dan siput. Lalu merebusnya dalam cangkir timah," sebut Sveen Woorbek dalam 250 Years in Old Jakarta.

Tiap hari ada interniran mati. Bukan disiksa atau dibunuh, melainkan karena kondisi kesehatan fisik dan mental makin turun.
Neraka Cideng padam pada Agustus 1945. Jepang telah menyerah kepada Sekutu dan Indonesia merdeka. Sekutu kemudian datang dan melucuti Komandan Sonei.
Sonei dihadapkan ke interniran, lalu diminta membersihkan lapangan. Seorang mayor Sekutu menempelengnya. Perempuan dan anak-anak yang melihat itu bertempik-sorak kegirangan. Mereka juga ikut merdeka, tapi dalam makna yang berbeda dari orang-orang Indonesia.
Perjuangan para perempuan interniran bertahan hidup selama lebih dari tiga tahun berbuah. Mereka dipulangkan ke negerinya masing-masing. Meski sudah saling terpisah, para eks interniran Cideng masih sering berkumpul setahun sekali di Belanda.
Baca juga:
Bagikan
Hendaru Tri Hanggoro
Berita Terkait
27 September Memperingati Hari Apa? Lengan dengan Sejarah dan Fakta Menarik

25 September Memperingati Hari Apa? Ini Deretan Peristiwa Penting dan Fakta Menariknya

[HOAKS atau FAKTA]: Pemerintah Indonesia dan Jepang Sepakat Lakukan Pertukaran 500 Ribu Penduduk dalam 5 Tahun
![[HOAKS atau FAKTA]: Pemerintah Indonesia dan Jepang Sepakat Lakukan Pertukaran 500 Ribu Penduduk dalam 5 Tahun](https://img.merahputih.com/media/dc/76/d3/dc76d3098ce41a30e4b9e3400fa8c2f6_182x135.png)
23 September Memperingati Hari Apa: Ini Fakta Lengkapnya

22 September Memperingati Hari Apa? Ini Deretan Peringatan Penting dan Fakta Menariknya

Tiba Jepang, Presiden Prabowo Bawa Misi Khusus di Expo 2025 Osaka

[HOAKS atau FAKTA]: Prabowo Setuju Kirim 10 Juta WNI ke Jepang
![[HOAKS atau FAKTA]: Prabowo Setuju Kirim 10 Juta WNI ke Jepang](https://img.merahputih.com/media/7d/c5/18/7dc5181e25b40b60cff7f6e5a18b8a6c_182x135.png)
19 September Memperingati Hari Apa? Fakta Sejarah Ini Jarang Diketahui!

18 September Memperingati Hari Apa? Kamu Harus Tahu!

RADWIMPS Rayakan 2 Dekade Karier Lewat Album ‘Anew’ dan Tur Akbar di Jepang
