Sejarah Kelam Kota Tua Jakarta


Foto: MP/Noer Ardiansjah
MerahPutih Budaya - Malam itu, Selasa (26/1), kawasan Kota Tua Jakarta masih terlihat ramai aktivitas masyarakat umum. Riuh gelak tawa yang turut membasahi remang malam, tentunya memberikan irama tersendiri untuk sebuah malam yang seharusnya sepi dan tenang.
Di bawah temaram lampu jalan, merahputih.com masih dapat menikmati pameran seni para seniman kontemporer yang tumpah ruah berbaur dengan para pengunjung. Di antaranya ada dari para pengunjung yang mengabadikan momen tersebut pada sebuah kamera smartphone. Sebagian yang lainnya, ada pula yang hanya duduk menikmati sajian kuliner kawasan Kota Tua Jakarta.
"Saya di sini bersama istri dan dua anak. Mau refreshing sih, Mas," kata Jun (35) yang tengah duduk santai bersama keluarga kecilnya di Jalan Taman Fatahillah No. 1, Jakarta.
Selain mencari udara segar, bapak yang memiliki dua orang anak itu mengatakan penasaran dengan suasana malam di Kota Tua. Ia mengaku sangat ingin mengetahui keadaan malam tempat tersebut yang selalu saja ramai.
Namun, di balik keramaian kawasan tersebut ternyata juga tidak pernah lepas akan sejarah kelam yang bahkan belum banyak diketahui masyarakat umum. Seperti contohnya, Jun.
"Untuk yang detilnya, saya belum tahu. Yang saya tahu hanya di sini dulunya merupakan tempat pusat pemerintahan kolonial Belanda," kata Jun.
Sejarah Kelam Kota Tua
Beda halnya dengan salah seorang seniman yang berada di kawasan tersebut, Yance (33). Menurut cerita yang ia dapatkan sejak dulu, tempat tersebut merupakan tempat pembantaian orang-orang yang hendak memberontak terhadap pemerintahan Belanda.
Selain orang pribumi, masih katanya, ada pula pembantaian terhadap orang-orang Tionghoa yang dilakukan secara kejam.
"Kalau dari cerita orang tua di sini, dulunya pelataran depan museum tempat pembantaian orang pribumi dan ada juga dari Tionghoa," kata Yance di tempat ia menumpahkan kreativitasnya.
Adapun kisah tersebut terjadi pada tahun 1740 Masehi. Pembantaian keji yang dilakukan kolonial Belanda terhadap etnis Tionghoa menewaskan hingga ratusan jiwa. Bahkan, ada juga yang bilang bahwa korban dari warga Tionghoa mencapai ribuan.
Perang tersebut terjadi lantaran tindakan diskriminatif pemerintahan Hindia Belanda terhadap para pedagang Tionghoa yang akhirnya menjadi pemantik pemberontakan terjadi. Nama pemberontakan tersebut dikenal dengan nama, Geger Pecinan.
Nahasnya, bukan kemenangan yang didapat. Justru penangkapan serta pembunuhan yang dilakukan secara keji. Mereka yang dieksekusi di alun-alun Stadhuis van Batavia (sekarang Museum Sejarah Jakarta), merupakan salah satu tindakan preventif pemerintahan kolonial Belanda guna mencegah pemberontakan selanjutnya.
"Kalau bicara kisah misteri seperti pembantaian mah, banyak. Dari cerita yang saya dapat di sini, ya seperti itu. Contohnya pembantaian massal etnis Tionghoa oleh kolonial Belanda. Belum lagi, kisah pribumi yang juga dibantai," pungkas Yance.
Syahdan, sejak pemberontakan tersebut, pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan sebuah peraturan yang disebut Wijkenstelsel. Aturan tersebut berisi bahwa etnis Tionghoa hanya dibolehkan tinggal di kawasan Glodok yang letaknya tidak jauh dari Stadhius van Batavia atau Balaikota Pemerintahan Hindia Belanda.
Meski peraturan tersebut seolah mempersempit ruangan bagi para saudagar dan juga masyarakat Tionghoa. Realitasnya justru tempat tersebut (Glodok) malah berkembang dengan pesat. Kasarnya, malah menjadi pusat perekonomian masyarakat pada zamannya.
Berdasarkan kisah tersebut, sudah seharusnya kita sadar bahwasannya setiap etnis yang tinggal di tanah air ini, realitasnya memberikan peranan penting bagi kemajuan bangsa. Jika saja kita mau buka kembali sejarah leluhur zaman dulu, lihat saja bagaimana mereka menerima keberagaman tersebut tanpa adanya tindakan diskriminatif untuk etnis mana pun. (Ard)
Bagikan
Berita Terkait
Umat Buddha Gelar Buka Puasa Bersama untuk Umat Muslim saat Ramadan 1446 H di Vihara Dharma Bakti

Warga Etnis Tionghoa Berburu Pernak-pernik Jelang Perayaan Imlek 2025

Komunitas Tionghoa Curhat ke RIDO, Jakarta Harus Punya Gedung Opera Kesenian

Bertemu Komunitas Tionghoa, Ridwan Kamil Pamer Punya 20 Karya di China

Memahami Makna di Balik Angka 8 dalam Kepercayaan Masyarakat Tionghoa

Lampion dan Dekorasi Naga Warnai Kota Solo

Akulturasi Budaya Cirebon dan Tionghoa dalam Festival Pecinan Cirebon

PITI Kunjungi MUI Pusat demi Kolaborasi Tuntaskan Masalah Keumatan dan Kebangsaan
PITI Kunjungi Muhammadiyah Kuatkan Sinergi Demi Merawat Harmonisasi Bangsa

Usai Dilantik, Lexyndo Hakim: Lahirnya PITI Bukti Islam dan Tionghoa Sangat Dekat
