Bawaslu Ultimatum Kepala Daerah tidak Politisasi Bansos COVID-19


Logo Pilkada Serentak 2020. Foto: Istimewa
MerahPutih.com - Anggota Bawaslu Ratna Dewi Pettalolo menyatakan, bantuan sosial (bansos) yang digunakan oleh kepala daerah untuk kepentingan Pilkada 2020 berpotensi dikenai sanksi pembatalan sebagai calon petahana.
Keputusan ini diatur dalam Pasal 71 (3) jo ayat (5) Undang Undang Nomor 10 Tahun 2016 dan Pasal 188 sebagai tindak pidana pemilihan.
Baca Juga
Selama Masa Transisi, Anies Minta Warga Tetap Tak Keluar Rumah
“Hati-hati atas nama bansos dan membungkusnya dengan tujuan tertentu (kepentingan pilkada) bisa dibatalkan sebagai calon jika dia petahana,” katanya, Jumat (5/6).
Dewi menambahkan, hasil pengawasan yang dilakukan oleh jajaran Bawaslu provinsi dan kabupaten/kota mencatat ada 11 provinsi dengan 23 kabupaten kota yang terdapat pembagian bansos dengan menyertakan foto atau gambar kepala daerah (gubernur,bupati dan walikota yang berpotensi menjadi calon petahana) pada barang (bansos) yang akan diberikan kepada masyarakat.
“Jajaran Bawaslu di daerah telah mencatat dan menyampaikan ke kami (Bawaslu RI) perihal penyalahgunaan bansos ini. Untuk itu saya minta kebijakan nasional ini janganlah digandengkan dengan kepentingan kontestasi politik,” ungkap Dewi.

Sebelum adanya pandemi COVID-19, Koordinator Divisi Penindakan ini menyatakan Bawaslu telah melakukan Workshop dibeberapa daerah secara bertahap terkait potensi pelanggaran Pasal 71. Bawaslu juga telah mengeluarkan surat himbauan kepada kepala daerah untuk tidak menggunakan program bansos untuk kepentingan pilkada.
Selain itu, Peraih Gelar Doktor di Universitas Hasanuddin Makassar ini memaparkan pandangannya terkait pelaksanaan pilkada 2020 di tengah pandemik COVID-19. Pilkada di tengah pandemik COVID-19, Dewi menempatkan keselamatan dan kesehatan masyarakat pemilih sebagai hukum tertinggi yang harus menjadi prioritas.
“Pilkada yang harus digelar di tengah pandemik ini mengharuskan pikiran kita tertuju kepada keselamatan dan kesehatan masyarakat. Saya menaruhnya sebagai hukum tertinggi yang harus menjadi prioritas,” tegas mantan Ketua Bawaslu Sulawesi Tengah itu.
Dewi mengharapkan adanya protokol kesehatan yang ketat yang harus diberlakukan, terutama saat pemungutan dan penghitungan suara yang harus dihadiri masyarakat dalam menyalurkan hak pilihnya.
“Harapannya protokol kesehatan dibuat ketat. Misal wajib memakai masker, mencuci tangan, dan jaga jarak antar pemilih. Intinya dibuat aturan supaya masyarakat tidak ada keraguan/ketakutan untuk datang ke TPS (tempat pemungutan suara),” jelas dia.
Baca Juga
Prabowo Subianto Diminta Jadi Ketum Lagi, Buat Modal Pilpres 2024?
Pilkada 2020 yang akan digelar 9 Desember mendatang disinyalir akan dimanfaatkan oleh para kontestan pilkada berbuat kecurangan. Dewi meminta masyarakat ikut berpartisipasi dengan cara melaporkan jika melihat adanya pelanggaran pilkada.
Masyarakat juga harus berpartisipasi, salah satunya melaporkan ke lembaga pengawas jika ada indikasi pelanggaran," tutup Dewi. (Knu)
Bagikan
Andika Pratama
Berita Terkait
Pisahkan Pemilu Nasional dan Lokal Mulai 2029, MK: Agar Fokus dan Tak Tambah Beban Kerja

Hentikan Penghitungan Suara Sepihak, Anggota Bawaslu Jaktim Diperiksa DKPP

Cabup Pilkada Boven Digul Nomor Urut 3 Diganti, Coblos Ulang 6 Agustus Anggaran Rp 21,2 M

Eks Komisioner Bawaslu Sebut Proses PAW Harun Masiku Dipantau Hasto

Mendagri Sebut Anggaran Pemungutan Suara Ulang Dapat Dipenuhi dari APBD

KPU Tindaklanjuti Putusan MK Soal PSU di 24 Pilkada, Segera Koordinasi dengan Kemendagri

Tak Jalankan Rekomendasi Bawaslu, KPU Barito Utara Dianggap 'Main Mata'

Biar Patuh UU, Komisi II DPR Tawarkan Opsi Pelantikan Pilkada Non-Sengketa MK Tetap Februari

MK Sesuaikan Panel Hakim Sengketa Pilkada Karena Anwar Usman Sakit, Janji Sesuai Tenggat Waktu

Tunggu Putusan MK, Pelantikan Kepala Daerah Diundur Serempak ke Maret
