Akui PSBB Paling Rasional, Istana: Pertimbangannya Tak Sederhana

Anggota Ahli Staf Kepresidenan, Juri Ardianto (MP/Fadhli)
Merahputih.com - Anggota Ahli Staf Kepresidenan, Juri Ardianto mengatakan program Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diberlakukan karena dianggap sebagai pilihan yang paling rasional menangani COVID-19 diantara pilihan lain seperti lockdown, karantina kesehatan hingga darurat sipil.
Menurut Juri, kebijakan PSBB adalah membatasi kegiatan tertentu penduduk di suatu wilayah yang terinfeksi untuk mencegah COVID-19 lebih meluas.
"Seperti meliburkan sekolah untuk belajar di rumah, kemudian kerja di rumah, pembatasan kegiatan keagamaan dan pembatasan kegiatan di fasilitas umun," jelas Juri saat konfrensi pers di BNPB, Jakarta Timur, Rabu (1/4).
Baca Juga
YLKI Anggap Penggratisan Tagihan Listrik Selama 3 Bulan Salah Sasaran
Saat peraturan ini diterbitkan, ada ketegasan, koordiasi dan kedisiplinan. "Jadi ada dasar hukum bagi pemerintah pusat dan daerah untuk mengambil kebijakan yang dianggap penting seperi lalu lintas, arus barang dan orang," imbuh mantan Komisioner KPU ini.
Ia melanjutkan, ada mekanisme yang mesti ditempuh. Yakni pemda bisa melakukan pembatasan dengan persetujuan Menteri Kesehatan.
Tak semua daerah harus melakukan pembatasan sosial berskala besar. Karena PSBB harus dilakukan dengan pertimbangan seperti epidemologis, besarnya ancaman, dukungan sumber daya, pertimbangan keamanan sosial dan politik.
"Jadi pertimbangannya tak sederhana. Ditambah tingkat kematian di suatu wilayah," terang Juri.
Jika sudah diterapkan, pemda wajib mengikuti ketentunan UU No 6 tahun 2018 tentang kekarantinaan kesehatan. "PSBB harus terkoordinasi dengan sejumlah pihak," imbuh Juri.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengizinkan pemerintah daerah (pemda) untuk melakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) guna mencegah penyebaran virus corona yang menyebabkan penyakit Covid-19. Hal itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang PSBB yang diteken Jokowi pada Selasa (31/3/2020).
“Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan Pembatasan Sosial Berskala Besar adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi Covid-19,” demikian bunyi Pasal 1 PP tersebut.
Pasal 2 menyatakan, PSBB bisa dilakukan pemerintah daerah dengan persetujuan Menteri Kesehatan.
Disebutkan juga bahwa PSBB harus dilakukan berdasarkan pertimbangan epidemiologis, besarnya ancaman, efektivitas, dukungan sumber daya, teknis operasional, pertimbangan politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan.
Dalam Pasal 3 diatur juga bahwa PSBB harus memenuhi sejumlah kriteria, di antaranya jumlah kematian akibat penyakit meningkat dan menyebar secara signifikan, dan terdapat kaitan epidemiologis dengan kejadian serupa di wilayah atau negara lain.
Sementara itu, pada Pasal 4 disebutkan, PSBB paling sedikit meliputi tindakan berupa peliburan sekolah dan tempat kerja; pembatasan kegiatan keagamaan; serta pembatasan kegiatan di tempat umum.
Baca Juga
Pemerintah Pusat Didesak Beri Kewenangan Daerah Lakukan Karantina Wilayah
Namun, kebijakan meliburkan sekolah dan tempat kerja serta pembatasan kegiatan keagamaan harus mempertimbangkan kebutuhan pendidikan, produktivitas, dan ibadah penduduk. Adapun pembatasan kegiatan di tempat umum harus memperhatikan pemenuhan kebutuhan dasar penduduk. Selanjutnya dalam Pasal 6 diatur prosedur pengajuan PSBB ke menteri.
"Pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar diusulkan oleh gubernur/bupati/wali kota kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan," demikian bunyi Pasal 6 ayat (1).
Selain berdasarkan usulan dari pemda, pengajuan PSBB untuk suatu daerah bisa juga diajukan oleh Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. (Knu)
Bagikan
Angga Yudha Pratama
Berita Terkait
Ilmuwan China Temukan Virus Corona Kelelawar Baru yang Sama dengan COVID-19, Disebut Dapat Menular ke Manusia Lewat

COVID-19 di Tiongkok Meninggi, 164 Orang Meninggal dalam Sebulan

Biaya Pasien COVID-19 Masih Ditanggung Pemerintah Meski PPKM Dicabut
