Ada Masalah Psikologis di Balik Fenomena Boneka Arwah


Tangkapan layar spirit doll di marketplace. (Foto: Tangkapan Layar)
MERAWAT boneka arwah atau spirit doll menjadi fenomena baru di masyarakat, khususnya selebritis tanah air. Fenomena ini pun memunculkan kontroversi. Dosen Departemen Psikologi Sosial Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran (Unpad) Retno Hanggarani Ninin mengatakan, fenomena ini bisa dilihat dari psikologis.
Ia melihat “memelihara” boneka arwah sebagai bentuk dari upaya seseorang yang memilikinya untuk menguatkan dirinya. Hal ini terkait pertumbuhan diri seseorang tersebut. Bagi orang yang mengalami pertumbuhan diri yang matang, maka tidak memerlukan alat atau apa pun, termasuk boneka arwah.
“Pada dasarnya, jika seseorang dalam tumbuh kembangnya mengalami proses yang positif dan ideal, maka hal-hal itu tidak diperlukan,” kata Ninin, Sabtu (8/1).
Baca juga:
Pandangan Pemerhati Budaya UNS Solo Terkait Fenomena Artis Adopsi Boneka Arwah
Setiap orang terlahir dengan kapasitas psikologis yang memungkinkan dia mampu bertahan menghadapi situasi atau persoalan apa pun. Kapasitas psikologis ini ditumbuhkan dan dikembangkan melalui pola asuh, pendidikan formal, serta pendidikan sosial, yang membuat kemampuannya makin mumpuni dalam menghadapi beragam persoalan ketika dewasa.
“Kalau proses itu benar dan baik, dia akan tumbuh dengan kemampuan yang cukup untuk menghadapi persoalan hidupnya,” katanya.
Tidak semua orang memiliki pengalaman positif dalam proses tumbuh kembangnya. Ada pengalaman pola asuh, pendidikan, dan relasi tertentu yang bisa membuat kemampuan psikologis tadi menjadi kurang mumpuni atau bahkan tidak dimiliki.

Ninin menjelaskan, batas kewajaran terhadap fenomena ini bergantung pada peran yang diletakkan seseorang (pemiliknya) pada boneka tersebut. Jika anak-anak yang bermain boneka dan memperlakukannya layaknya temannya, itu merupakan sebuah kewajaran dari perspektif tumbuh kembang, karena faktor usianya.
Ketika di usia dewasa seseorang masih memperlakukan boneka seperti pada usia anak-anak, maka ada sesuatu dari kondisi psikologisnya yang mencetuskan dia untuk membutuhkan cara tersebut.
Menurutnya, ketidakmampuan seseorang dalam menghadapi persoalan hidup secara mandiri kadang kala membuatnya memerlukan teman untuk mendengar, berdiskusi, dan berbicara. Ketiadaan pendamping yang bisa diajak mendengar, berkomunikasi, dan memberikan dukungan, bisa jadi membuat seseorang memilih untuk memiliki “teman komunikasi” yang lain.
Baca juga:
Boneka 'Arwah' Ini Sangat Populer di Thailand
“Kalau kita lihat, pada umumnya, berdasarkan tradisi dan budaya, perilaku itu bisa jadi tidak lazim. Akan tetapi, kenyataannya ada orang yang memilih cara itu untuk membuatnya memiliki teman berkomunikasi atau teman hidup. Padahal, ‘teman’ yang dia pilih itu tidak bisa menjadi partner untuk memberikan komunikasi atau emosi balasan,” jelasnya.
Apabila orang tersebut masih dalam asuhan orang tua, maka orang tua perlu memberikan pengasuhan yang seharusnya, agar anak bisa berkembang dengan optimal. Pengasuhan yang baik dan optimal akan membuat anak punya kesiapan untuk bertahan secara mandiri dalam menyelesaikan persoalan hidupnya.
Ketika seseorang yang mengalaminya sudah dewasa, yang seharusnya secara psikologis sudah mandiri, orang tua maupun anggota keluarga lain bisa menjadi support system. Hal tersebut bertujuan untuk menyangga ketika ada kondisi psikologis tertentu yang tampaknya memerlukan dukungan.

Tetapi dampak support system bisa bersifat konstruktif (membangun), bisa pula destruktif (menghancurkan). Konstruktif terjadi apabila apa yang dilakukan anggota keluaga sesuai dengan apa yang diinginkan orang yang didukung.
Jika dukungan tidak sesuai dengan yang diharapkan, support system bisa menjadi destruktif. Ia menjelaskan, arah support system bisa ke mana-mana, bergantung kesepakatan antara anggota keluarga yang men-support dan anggota keluarga yang di-support.
Ninin pun mengingatkan tentang urgensi memiliki boneka tersebut. Urgensi ini terkait tujuan. Jika penting atau menjadi kebutuhan mendasar, maka tentu layak untuk membelinya.
Sehingga, membeli spirit doll harus jelas tujuannya untuk apa. Namun, ketika orang merasa perlu membelinya karena menganggap bahwa spirit doll bisa memberikan efek psikologis yang menenangkan, pada saat ia sedang berada dalam keadaan yang membutuhkan ketenangan, maka situasi ini yang mesti diwaspadai.
“Yang perlu diwaspadai juga adalah ketika seseorang membeli boneka itu hanya karena melihat efek positif dari model yang memilikinya, yang ada di media sosial, padahal yang dilihat di media sosial tersebut belum tentu benar,” ujar Ninin. (Imanha/Jawa Barat)
Baca juga:
Bagikan
Berita Terkait
Dinkes DKI Catat 218 Kasus Campak hingga September, tak Ada Laporan Kematian

DPR Desak Pemerintah Perkuat Respons KLB Malaria di Parigi Moutong

Kecemasan dan Stres Perburuk Kondisi Kulit dan Rambut

Menkes AS Pecat Ribuan Tenaga Kesehatan, Eks Pejabat CDC Sebut Pemerintah Bahayakan Kesehatan Masyarakat

Intermittent Fasting, antara Janji dan Jebakan, Bisa Bermanfaat Juga Tingkatkan Risiko Kardiovaskular

Rencana Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Belum Dapat 'Lampu Hijau' DPR, Legislator Soroti Pentingnya Keadilan Sosial dan Akurasi Data Penerima Bantuan Iuran

Prabowo Janji Bikin 500 Rumah Sakit, 66 Terbangun di Pulau Tertinggal, Terdepan dan Terluar

Prabowo Resmikan Layanan Terpadu dan Institut Neurosains Nasional di Rumah Sakit Pusat Otak Nasional

Viral Anak Meninggal Dunia dengan Cacing di Otak, Kenali Tanda-Tanda Awal Kecacingan yang Sering Dikira Batuk Biasa

Periksakan ke Dokter jika Vertigo Sering Kambuh Disertai Gejala Lain, Bisa Jadi Penanda Stroke
